PEMBAGIAN

16 3 0
                                    

Mike dan anak buahnya mengantar kami kembali ke pantai dengan speedboat karet saat hari menjelang siang. Selain sepuluh dosis anti virus, kami dibekali delapan bungkus roti tawar merek Essence Bread, yang sebenarnya Sari Roti, roti Sari Roti. Mark juga sempat menawari aku sebotol Jack Daniel, tapi aku tolak dengan nyanyian lagu Rhoma Irama yang sempat membuat Wina dan para tentara bergoyang bersama. "Hard drink, HD! Whatever is your name... Never i drink again... even a drop...."

Saat aku baru turun dari speedboat, Mike kembali mengingatkan janji ketemuan kami selanjutnya. "Dont forget kami akan, euu, kembali ke Jakarta. Ke... apa nama portnya?"

"Tanjung Priuk." jawabku.

"Yes. Tanjung Priuk." ulang Mike.

"Oke, Mike. Kami tunggu kedatangan kalian untuk anti virus yang lebih banyak."

"Fine." ucap Mike. Kami pun berpisah. Mike dan anak buahnya kembali memacu speedboat, kembali ke kapal perang mereka sementara aku dan Wina berjalan menyusur pantai.

Aku berjalan sambil melihat sekitar. Para penggigit yang kemarin malam berusaha menggigit kami sudah pada berlindung ke bilik-bilik warung bambu, pepohonan, dan rumah-rumah penginapan di sepanjang pantai. Menyisakan jejak-jejak kaki pada pasir pantai dan bangka-bangkai penggigit yang tertembak. Lima bangkai memiliki luka gosong, yang aku tebak karena tidak mati karena tidak tertembak di kepala, tapi mati karena matahari pagi. Tiga di antaranya masih kecil. Membuat hatiku pilu.

"Anak-anak itu menjadi korban." tunjukku dengan arah pandang. Wina melihat sebentar, tapi langsung berpaling karena tak tega. "Itulah kenapa kita harus segera bereproduksi. Agar dunia ini kembali dihuni anak-anak sebagai generasi penerus bangsa."

Wina tidak menanggapi. Ia terus berjalan memanggul ransel ke arah truk. Suara erangan dari warung-warung mulai terdengar mengancam. Aku berjalan ke belakang bak truk, membuka slotnya, dan menyimpan ransel berisi kotak anti virus ke dalam. Aroma tahi kotok Petok membuatku sempat terenyuh, seolah merasakan keberadaan mending Petok. Saat aku naik ke balik kemudi, Wina sudah memasang sabuk pengaman, terlihat ingin cepat-cepat berangkat.

"Mari kembali ke ibu kota." sahutku sambil memutar kunci, membuat mesin berderu. Wina menanggapi dengan tengokan cepat.

"Kita ke kembali ke Tasik dulu!" tegur Wina tiba-tiba. Aku batal mengoper perseneling lalu menatap Wina.

"Kembali ke Tasik?"

"Iya." jawab Wina. "Aku mau mencari A Agus."

Seketika itu hatiku kembali patah. Seketika harapanku sirna. Anganku layu sebelum berkembang untuk kesekian kalinya. Tak menyangka Wina masih menyimpan harapan pada Agus sang tunangan yang tak tahu di mana rimbanya.

Wina balas menatapku dengan raut yang minta diberikan pengertian. "Kalau dia masih hidup, sukur, kalau sudah jadi penggigit akan aku suntik anti virus."

"Tapi kita tak tau di mana keberadaannya." sahutku.

Wina menggeleng, tak setuju dengan pesimisku. "Aku akan melacak keberdaannya." balas Wina. "Mungkin dia ke rumah temannya. Mungkin bertugas ke komplek militer lain. Mungkin bertugas jaga di mall atau tempat keramaian, seperti tentara-tentara yang membantu evakuasi di IKEA."

Aku tak tega untuk meragukan kemungkinan itu. Tapi aku harus realistis. "Win," katakau memberi pengertian. "kalau tunanganmu tidak jadi penggigit, dia pasti bisa bertahan. Masalahnya, mencari tunanganmu akan makan banayk waktu. Sedangkan teman-temanku sudah pasti keberadaannya."

Wina setengah melotot. "Jadi kamu cuma mikirin teman-temanmu saja?"

"Bukan begitu." bantahku. "Kalau penggigit tidak mati kelaparan juga aku pasti setuju kita kembali ke Tasik untuk mencari tunanganmu. Tapi karena waktu kita terbatas, lebih baik kita utamakan yang pasti dulu."

Mata Wina yang melotot jadi berkaca-kaca. Aku jadi merasa salah bicara.

"Ya sudah," ucap Wina. Aku kira dia setuju untuk langsung kembali ke Jakarta. Tapi ternyata masih ada terusannya. "carikan aku mobil. Biar aku ke Tasik sendiri."

Aku terkejut dengan ucapan itu. "Maksud kamu?"

"Carikan aku mobil matic." ujar Wina. "Aku tau kamu harus segera mengobati teman-temanmu. Jadi lebih baik kita berpisah. Toh aku sudah bisa menembakan senapan. Aku bisa menjaga diri."

Aku jadi bingung. Berpikir ulang atas kesediaan Wina berpisah. Aku tidak tega meninggalkannya. Tapi aku juga tak bisa mengabaikan keselamatan teman-temanku yang lebih pasti.

"Kamu serius ingin pisah?" tanyaku menguji keputusan Wina.

Wina mengangguk sambil sesenggukan. "Iya." katanya.

"Jadian belum, sudah pisah aja. " keluhku setelah menghela napas. Mencoba memaklumi pilihan kami yang berbeda. Aku mengoper perseneling dan melajukan truk untuk keluar dari area pantai. "Baiklah." kataku pelan. "Kita bagi dua anti virusnya."

Wina mengangguk. "Kamu ambil enam. Aku cukup dua." kata Wina. Ucapan itu sangat membuatku terharu. "Toh aku tak punya siapa-siapa lagi selain paman dan tunanganku." sambung Wina.

"Terima kasih, Win." ucapku. Enam dosis sudah sangat lumayan. Setidaknya semua teman kelompokku pasti kebagian.

Di persimpangan desa kedua setelah keluar dari gapura Ujung Genteng aku berhenti di sebuah pertokoan. Aku ingat kemarin ada showroom mobil bekas di sini. Aku dan Wina turun besamaan, menenteng senapan, bersiaga kalau ada serangan. Untungnya showroom sepi. Penggigit hanya ada di ruko-ruko lain.

"Itu." tunjukku pada Honda Jazz kuning plat D yang ada di bagian terluar. "Kamu suka?" tanyaku.

"Idaman." jawab Wina. "Yang penting matic."

Aku mendekati mobil, membuka pintu dan melihat ke arah persenelingnya. Untungnya matic. Aku lihat indikator bahan bakarnya lebih dari setengah. "Mau kita review dulu ala Ridwan Hanif nggak, nih?" tanyaku sambil tertawa. Wina tertawa kecil kegirangan dapat mobil idaman.

Aku berjalan masuk ke showroom disusul Wina. Lima menit mencari, kami baru berhasil menemukan kuncinya di meja resepsionis, berkumpul bersama kunci dari mobil-mobil lain. Saat Wina mulai mencoba Honda Jazz barunya aku sadar bahwa Wina belum begitu lancar mengemudi. Tapi siapa peduli. Nabrak atau nyerempet tidak masalah untuk saat ini. Bagian terpenting sudah aku katakan pada Wina. "Jangan ngebut-ngebut!" kataku. "Ambil saja tengah jalan biar nggak terperosok.". Wina mengangguk dari balik kemudi. "Kalau ada warung yang jual bensin eceran ambil saja. Tapi harti-hati."

Wina mengangguk mengerti atas semua saranku. Kami sudah membagi anti virus, senapan, magazine, dan perbekalan. Hatiku semakin sedih menjelang perpisahan. Tapi Wina terlihat biasa saja, bahkan seperti ingin segera. Aku memaklumi. Ada yang ingin diperjuangakan olehnya. Sayangnya, itu bukan aku.

Di persimpangan selanjutnya kami berbeda jalan. Suara klakson menjadi senandung perisahan. Wina belok ke kanan, kembali ke arah timur melalui rute kedatangan kami kemarin. Sementara aku terus lurus, menuju utara ke arah kota.

Sendiri lagi.

ZOMBLO APOCALYPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang