KEADAAN RUMAH

20 3 0
                                    

Aku dan Wina keluar dari parkiran mengendarai truk tiga perempat dengan box bertuliskan IKEA. Jalanan perumahan mewah Alam Sutera sangat lengang. Hanya ada beberapa mobil yang terlantar di pinggiran jalan yang beberapanya berpintu terbuka. Aku beberapa kali melakukan pengereman untuk beradaptasi dengan stelan rem. Wina terus-terusan melihat kanan-kiri, berusaha mencari kehidupan atau kendaraan lain. Hanya ada asap-asap sisa kebakaran hitam di beberapa rumah dan gedung di sepanjang jalan. Mobil dua mobil pemadam yang aku lihat terlantar dengan mayat pemadam dan mayat-mayat lain di sekitarnya. Beberapa komplek ruko dan rumah benar-benar hangus, nyaris menjadi puing karena tak ada usaha pemadaman sama sekali.

Aku sengaja tidak masuk tol untuk menghindari sumbatan di gerbang tol yang sangat mungkin terjadi, bercermin pada gerbang tol terdekat dengan kampusku. Tak ada satupun orang atau kendaraan sepanjang jalan raya menuju rumahku. Beberapa jalan sudah diblokade dengan kayu dan batu. Sebuah usaha yang sia-sia, karena bahaya yang ada berwujud manusia. Tapi aku bisa memahahi kepanikan orang-orang, dua, tiga hari yang lalu. Mereka hanya tak menyadari bahwa ancaman berada begitu dekat dengan mereka sebelum mereka menjadi ancaman itu sendiri.

Satu belokan sebelum sampai di rumah aku berhenti di pinggiran jalan raya. Di sebelah kiri ada Alfamart yang sudah berantakan dengan kaca yang sudah pada pecah dengan berbagai barang bergeletakan di luar seperti habis dijarah. Mayat korban dan mayat penggigit yang memiliki luka hangus di wanah dan bagian tubuh yang tak tertutup pakaian bergelimpangan di dekat pintu masuk. Aku sudah merelakan kemungkinan terburuk.

"Kamu tetap mau melihat rumahmu?" tanya Wina pelan, seolah memahami suasana hatiku.

Aku melihat dulu sekitar, berusaha menyembunyikan mataku yang berkaca-kaca lalu menjawab "Barangkali ada yang selamat. Kalau bukan keluargaku, mungkin teman nongkrongku, atau tetanggaku."

Wina menunduk, mengangguk pelan. "Terus, bagaimana kita memastikan itu?" tanyanya.

Aku berpikir sambil melihat-lihat sekitar. Sebuah mobil menarik perhatianku. "Kita turun."

Wina menoleh heran. "Turun?"

"Iya" jawabku sambil memberi contoh.

"Kamu stres?" tanya Wina agak teriak, karena aku sudah membuka pintu dan menapaki jalan aspal.

"Lumayan." jawabku mendekati mobil bak berterpal di ujung jalan. Barang-barang di baknya sudah berantakan dengan tumpahan minyak berceceran ke jalan. Aku mendengar Wina membuka pintu kabin, turun, dan menutupnya kembali. Ia mendekatiku sambil menenteng Petok dan memanggul ransel. Aku berjalan mendekati kabin mobil bak, melihat kuncinya menggantung. Aku coba putar. Sekali cengengesan mobil langsung menderu.

CENGENGESAN...BRMMMM...

"Cepat naik!" teriakku.

"Kenapa kita ganti mobil kaya begini?" taya Wina mendekati kabin.

"Karena kita sedang mencari orang yang mungkin masih hidup."

"Terus?"

Aku menjawab dengan menjetrekan tuas kecil dekat dashboard mobil yang aku kemudikan. TOA kecil di atas kabin mulai berbunyi.

"TAHU....TAHU BULAT...DIGORENG DADAKAN....LIMA RATUSAN...HALLLOW...."

Aku melajukan mobil perlahan, selambat kecepatan mobil tahu bulat yang sering aku lihat, sementara Wina melongo memandangiku, mendapat jawaban atas pertanyaannya. Sementara mobil melaju aku melihat ke kanan, memberi isyarat pada Wina untuk melakukan yang sama terhadap sisi kiri: melihat kalau-kalau ada tanggapan selain dari para penggigit yang mulai mengerang ketika mendengar suara TOA tahu bulat melintas.

ZOMBLO APOCALYPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang