Aku dan Riki sudah mengumpulkan dua belas mobil di parkiran selatan. Parkiran terluas dan terdekat dengan pintu depan gedung utama kampus. Kami menghadapkan empat mobil ke teras gedung utama, agak melengkung, agar empat di sisi kanan dan empat di sisi kiri seolah melingkari truk yang nantinya akan menjadi tempat kami berdiri. Jarak antar mobil kami atur lima meter satu sama lain, agar para penggigit di sekitar bisa mendekat. Semua lampu mobil kami nyalakan. Kami sudah memastikan tidak ada satu pun anggota kelompok kami yang akan kami suntikan anti virus di sisi selatan. Hanya ada tiga penggigit yang berteduh di pepohonan dekat gerbang.
Aku dan Riki buang air kecil dan besar dulu di saluran air depan pagar besi kampus supaya tidak kebelet saat malam. Pukul 17:15 cahaya matahari sudah terhalang bangunan apartemen yang menjadi tetangga kanan area kampus. Parkiran barat dan area lapangan basket sudah ternaungi bayangan gedung utama kampus. Kalau saja penggigit melihat kami, mereka sudah bisa mendekat. Para penggigit di teras depan pintu depan gedung utama sudah menatap kami terus menerus dengan erangan kelaparan, menunggu cahaya meredup. Aku dan Riki bergegas menaikan ransel dan senapan ke atas bak truk dengan cara lempar tangkap. Riki naik lebih dulu melalui kabin. Setelah semua barang dipindahkan ke atas, aku menyusul naik. Ketika matahari sudah tak menyoroti parkiran tempat kami berada, para penggigit di teras kampus langsung berlari mengerang dengan cepat. Aku dan Riki menarik kokang di sisi kanan senapan, mulai mengarahkan bidikan pada sosok di bawah sambil melihat dengan seksama wajah-wajah mereka. Tidak ada satu pun yang kami kenal. Kami mesti mengambil langkah berikutnya. Aku menembakan senapan ke atas.
DAR!
Letusan yang mambuat para penggigit di seluruh area kampus mengerang. Kegaduhan terdengar dari lobi gedung utama. Puluhan penggigit keluar berdesakan melalui pintu depan, mencari sumber suara.
DAR! tembakku memberi petunjuk arah pada mereka.Makin banyak penggigit keluar dari gedung dan area parkiran. Semua menuju ke satu titik. Truk tempat aku dan Riki berdiri. Penggigit yang sudah lebih dulu keluar sudah menggapai truk. Menggedor-gedor bagian samping dan depan dengan kepala mendongak dan tangan menjulur. Semakin gelap semakin ramai.
"Elo jangan ngeliat ke bawah!" ujarku, saat melihat Riki melakukan itu. "Tenang aja! Fokus cari Ratri dan anak-anak!"
"Oke." teriak Riki, tanpa mampu menyembunyikan raut paniknya.
Truk tempat kami memang bergoyang-goyang karena tumbukan tangan para penggigit. Tapi aku sudah meyakinkan Riki bahwa mereka punya keterbatasan yang membuat kami akan tetap aman, selama mereka tak punya pijakan yang cukup untuk memanjat. Para penggigit tidak bisa bekerjasama.
Langit semakin gelap. Sudah sangat hitam. Bulan dan bintang semakin jelas. Tapi area parkiran semakin terlihat terang karena sorot dua belas mobil yang kami jajarkan ditambah lampu truk pijakan. Semakin banyak penggigit mendekat ke truk dari berbagai arah. Riki belum juga bersuara. Aku pun memancing lagi.
DAR! DAR!
Kegaduhan semakin menjadi, di bawah dan di atas, dari seluruh lantai gedung utama. Suara tembakan yang membuat mereka berusaha mendekati jendela namun terlalu tinggi untuk mereka panjat. Aku menambah jumlah suara.
DAR! DAR! DAR! DAR! DAR!
Aku tembakan senapan sampai magazine pertama habis. Aku mengganti magazine sementara para penggigit berangsur turun ke lobi lalu keluar menuju teras kemudian parkiran, semakin bergerak cepat begitu melihat kami di atas truk.
DAR! DAR! tembakku lagi.
"STOP, WEN!" teriak Riki tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah Riki. "Ada?" tanyaku.
"Itu!" tunjuk Riki ke satu sosok yang baru bergabung ke kerumunan. "Alex!"
"Oh, Alex!" sahutku. "Oke, kita tandai! Ingat-ingat posisinya! Pantau terus!".
Riki mengangguk lalu kembali melihat ke arah teras, tempat para penggigit mendekat. Teras memang menjadi titik pantau yang membuat kami lebih mudah mengenali, ketimbang saat para penggigit sudah berkerumun. Sesekali aku ikut memantau teras, meski lebih fokus mengantisipasi pergerakan para penggigit yang berusaha menggapai kami. Satu sosok penggigit bergerak lebih cepat dari sosok-sosok lain. Ia berlari mendekati kerumunan tanpa peduli kanan-kiri. Ia berusaha memanjat tubuh sosok-sosok di depannya. Membuat pijakannya cukup untuk merambat kaca spion truk sebelah kiri. Aku mengambi tindakan.
Setelah memastikan wajahnya bukan wajah yang aku kenal,
DAR!
Aku menembakknya. Menganai bahunya. Membuatnya terpental ke bawah, lalu hilang, terinjak-injak sosok lain. Aku semakin waspada kalau-kalau ada penggigit lain yang punya kemampuan seperti sosok tadi.Tipe penggigit yang kuat karena luka yang tidak berat.
"RATRI, WEN! RATRI!" tunjuk Riki ke arah teras. Wajahnya tampak kegirangan.
"Sip!" kataku ikut merasa senang. "Tandai! Pantau terus!" Aku melihat Riki masih tersenyum saat matanya kembali melihat ke arah lain, mencari wajah-wajah berikutnya. Setengah jam kemudian Riki melihat Ratna. Aku tak sengaja melihat Fandi. Sebelum tengah malam kami menemukan satu sosok lagi.
"INTAN!" teriak Riki. Kami tersenyum bahagia. Berjingkrak-jingkrak di atas bak. Sekilas merasakan sensai menjadi rock star yang sedang konser di atas panggung dengan penonton di bawah yang pada teriak histeris. Riki bahkan sempat bergoya ala Ariel Noah dengan berteriak.
"KALIAN LUAR BIASAAAAAA!"
Lalu aku ikut-ikutan dengan berteriak "TENGKYU JAKARTAAAAAA!"
Sekarang kami tinggal menunggu fajar tiba. Kami bergantian berjaga. Bergiliran duduk satu jam sekali. Nambul bubuk kopi biar tidak ngantuk. Kami terus mengecek posisi teman-teman kami secara berkala. Memastikan kami akan mudah menemukannya saat pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZOMBLO APOCALYPSE
HumorHanya aku yang bertahan hidup di dalam kampus. Teman-temanku mati atau berubah jadi penggigit. Saat makanan di kampus habis, aku terpaksa keluar. Keadaan di luar sangat berbeda. Aku harus memastikan nasib keluargaku. Mungkin aku bukan satu-satunya p...