Aku sudah membawa sepuluh genggam beras yang aku jejali ke dalam ransel. Berhitung cepat bahwa itu akan cukup untuk sepuluh hari. Aku sisir lapak-lapak kantin dengan cepat, mengambil apa saja dulu yang ada di kulkas, lemari bumbu, dan dapur, tanpa memeriksa dulu apakah masih layak atau sudah basi. Salah satu lemari malah berisi peralatan make up yang sepertinya milik karyawan kantin, reflek aku bawa juga. Suara erangan dari para penggigit yang melihatku terdengar dari pepohonan dekat danau, membuatku buru-buru. Setelah mengambil tiga botol air mineral yang masih berada di dalam kardus dan memasukannya ke dalam ransel dan memungut linggis di dekat kulkas kaca milik Sosro, aku langsung bergegas keluar dari area kantin menuju parkiran.
Aku berlari kecil menuju gedung utama. Memastikan langkahku menapak di bagian terang karena sinar matahari sepanjang parkiran. Linggis aku genggam dengan kedua tangan. Senjata baru yang lebih berat, tapi lebih mematikan, menurutku. Setelah membunuh penggigit barusan, ada rasa berani yang terbawa untuk melakukannya lagi. Hanya saja aku terus mengigatkan diri untuk tidak membunuh penggigit yang tidak menyerang atau yang aku kenal. Siapa tahu ada obat untuk wabah ini. Syukurnya keadaan di sekitar gedung utama masih sama. Tak ada penggigit di sekitar pintu.
Aku bergegas masuk dengan langkah lari berjinjit agar tak banyak suara. Aku langsung menapaki tangga menuju lantai dua dan terus meliku sampai di tangga lantai tiga. Penggit yang sempat melihatku di lantai empat sangat dekat dengan jalur tangga. Sosok itu melihatku lalu bergerak mengejar, membuatku tak lagi sanggup berjinjit karena harus menambah kecepatan. Suara derap kakiku bergema sepanjang jalur tangga. Membuat suara erangan terdengar semakin banyak dan nyaring. Aku tak peduli sejauh mana penggigit di lantai tiga mengejar, aku terus berlari. Lalu tiba-tiba lampu-lamput di lantai empat padam. Jalur tangga menjadi gelap. Kaki tersandung anak tangga, aku melambatkan langkah naikku. Napasku tersenggal senggal sambil berusaha terus naik tanpa melihat. Suara erangan di lantai lima mulai terdengar, sementara dari lantai tiga terus meraung-raung. Tubuhku memaksa otak untuk berpikir mengambil keputusan. Risiko, hambatan, dan peluang. Seketika aku turun, karena ancaman di bawah sudah aku ketahui, sementara peluangku untuk selamat sampai ke lantau tujuh mengecil, dan kemungkinan listrik kembali menyala adalah 50:50, karena pemadaman ini sangat mungkin terus terjadi karena kerusakan akibat tidak adanya teknisi PLN yang cukup.
Aku menuruni anak tangga menuju lantai tiga dengan tangan menusuk-nusukan linggis, menganggap ada penggigit di depanku. Setelah berkali-kali hampir jatuh terpeleset, tusukanku mengenai sosok penggigit yang tiba-tiba mengerang. Aku berteriak sambil terus menusuk tubuh itu berkali-kali hingga tubuh itu jatuh terinjak. Suaraku membuat suara penggigit lain terdengar. Aku tahu mereka tak akan mengejar sesuatu yang tidak terlihat, tapi mereka akan mendekati sumber suara jika mendengar sesuatu. Suara di lantai dua membuktikan hal itu. Sekarang ada banyak suara mengerang di sana. Aku batal turun ke lantai satu, dan memaksa masuk ke lorong lantau dua, langsung berbelok ke arah toilet. Cahaya dari jendela toilet membuatku lega seketika, tapi sementara. Aku pecahkan jendela berengsel dengan linggis. Suara pecahannya membuat penggigit di lantai dua mendekati toilet. Salah satunya sudah masuk. Ia melihatku dengan tajam dengan mulut menganga. Teman SMA-ku, Riki. Wajah dan rambut gimbalnya sudah berlumur noda darah kering. Saat Riki menjulurkan tangan, aku melihat ke bawah, memastikan tempat mendarat. Titik itu berdekatan dengan pohon tempat sesosok penggigit mendongak sambil mengerang ke arahku. Saat Riki mulai berlari, aku melompat melalui jendela, menghujamkan linggisku ke wajah penggigit di bawah pohon, sementara engkel kakiku menahan nyeri pendaratan.
CROT
Suara erangan penggigit di depanku berakhir. Tapi tidak dengan erangan Riki yang kesakitan menahan perih ketika tangannya yang menjulur ke luar jendela terbakar sinar matahari. Aku mendongak terakhir kali untuk melihat Riki lalu berlari menyusuri parkiran barat, menuju gerbang utama kampus. Aku tak peduli kanan-kiri, tempat para penggigit berteduh di pepohonan dan gedung samping kampus, sambil berjanji dalam hati, aku akan kembali untuk mencari Riki dan semua teman yang aku kenal.
Jika obatnya ada.
Sementara belum, aku harus ke tempat terbuka, yang jauh dari gedung-gedung dan pepohonan.
Jalan tol di seberang kampus sang at cocok.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZOMBLO APOCALYPSE
HumorHanya aku yang bertahan hidup di dalam kampus. Teman-temanku mati atau berubah jadi penggigit. Saat makanan di kampus habis, aku terpaksa keluar. Keadaan di luar sangat berbeda. Aku harus memastikan nasib keluargaku. Mungkin aku bukan satu-satunya p...