Aku dan Riki ngedeprok di lapangan basket kampus, setelah keluar dari gedung utama lewat jendela toilet lantai dua, melompat ke pohon dan turun melaluinya. Lapangan basket tempat kami duduk adalah area paling terbuka yang berarti paling aman karena tersorot sinar matahari siang secara menyeluruh. Riki masih membiasakan diri untuk yakin bahwa para penggigit tidak akan menyerang dari bawah pepohonan di sekitar lapangan. Kadang-kadang masih kagetan saat mendengar erangan penggigit di sekeliling. Ia makan roti tawar dari ransel dengan sangat lahap, seolah belum makan dari PAUD.
"Nggak ada selai nanasnya apa nih?" tanya Riki. Sudah habis enam lembar sejak ia makan sambil mendengar ceritaku selama terjebak sendiri sampai sekarang di sini.
"Nggak ada." jawabku. "Nanti kalau lewat Indomaret kita ambil."
Aku melihat kulit tubuh Riki semakin cerah, seiring pucat yang kian memudar. Sepertinya darah dia kembali beredar dengan lancar. Glowing bak habis dioles skincare made in Korea Utara. Setelah menenggak satu botol air mineral sekaligus, ia sendawa lalu menghela napas.
"Kapan kita menyuntikan anti virus ke Ratri, Wen?"
Aku memandangnya dengan serius. Aku sudah menebak hal ini akan ia bicarakan. Aku hasus menjawab dengan hati-hati. "Ini aku lagi mikir." jawabku, agar dia tidak menunggu. Aku memang sedang berpikir.
"Masalahnya kita tidak tau di mana Ratri berada." ucapku.
Riki memelas dan berkata "Plis, Wen, kita harus coba nyari dia, Wen. Cuma dia semangatku, matahari, rembulanku, saparuh napasku, belahan..."
"Pret, lah!" potongku. "Elo nggak milih keluargamu?"
Riki tampak berpikir. Mungkin merasa jadi anak durhaka. "Dengan jumlah anti virus yang terbatas, nggak akan cukup. Mending Ratri dulu. Tapi nanti anti virus bakap ada lagi, kan?""
"Semoga." jawabku. "Tentara Australia bilang akan terus memproduksi, dan kita bisa meminta lagi saat mereka sudah berada di Tanjung Priuk. Kalau kita sudah mengobati yang lain, kita standby di sana."
"Berapa lama penggigit bisa bertahan?"
Aku menggeleng. "Harusnya elo lebih tau. Elo kan mantan. Coba elo cerita bagaimana kesan-kesannya selama jadi orang gila?"
Riki senyum tipis. Seperti merasa malu akan masa lalu yang berlumur darah, lalu menggeleng dalam kebingungan. "Gue nggak bisa mengingat dengan jelas." katanya. "Cuma samar-samar waktu gue berusaha menyelamatkan Ratri di dalam lift dan di lantai tiga, terus waktu staf fakultas ngegigit pundak gue di dalam lift. Habis itu semakin samar. Rasanya seperti mimpi buruk waktu sakit panas. Ada bayangan tapi susah diingat."
Riki garuk-garuk kepala saking bingungnya. "Kayanya aku sempat menggigit seorang mahasiswa. Gue merasa lapar banget sekaligus haus gila."
"Elo ngengigit Ratri deh kayanya." ujarku.
"Masa, sih?"
"Soalnya elo satu lift sama dia, dan gue sempat denger Ratri teriak."
Riki langsung murung. Ia masih berusaha mengingat-ngiingat sambil garuk-garuk. Aku memberi isyarat tangan pada Riki agar berhenti. Terlalu berat untuknya mengutarakan apa yang aku ingin tahu. Setidaknya aku sudah bisa membayangkan dari yang tadi dia sampaikan. Setelah berpikir lagi aku pun berkata "Gue pikir kita harus mendahulukan Fandy dan Alex, kalau-kalau mereka belum mati."
"Hah?" Riki kaget dengan keputusanku. "Kenapa mesti mereka?"
"Mereka laki-laki, jadi lebih cekatan dan nggak cengeng."
"Tapi Ratri duluan aja, Wen!" desak Riki.
"Iya, iya, kalau kita temukan Ratri lebih dulu, kita suntik dia." ucapku agar Riki tidak panik lebih lama. "Tolong nggak usah ngulang kalimat-kalimat dialah rembulanku, asteroidku, dan apalah itu tadi.
Riki tersenyum lega. "Tengkyu, Wen." ujarnya menepuk bahuku. "Tengkyu udah nyelametin gue."
Aku ngangguk menerima ucapan terima kasihnya.
"Jadi gimana caranya?" tanya Riki, terlihat tak kuat menahan desakan ingin segera mengobati Ratri.
"Gini." ucapku, melihat pada ubin lapangan basket, membayangkan itu adalah denah gedung utama lalu menunjuk titi awal imajiner. "Kita pancing para penggigit di gedung utama untuk keluar. Kita pancing semua, dari mulai lantai enam sampai satu, karena di situ kemungkinan Ratri dan yang lain berada."
"Maksud kamu, pancing sampai keluar gedung?"
"Iya." jawabku.
"Malam-malam, dong?" Riki merautkan wajah yang menunukan rasa ngeri.
"Menjelang pagi lebih tepatnya!" jawabku. "Biar nggak terlalu lama nunggu bubaran. Kita mulai jam lima. Jam tujuhan mereka bakal pada masuk lagi karena cahaya matahari dari timur." tambahku sambil menunjuk arah timur.
Riki tampak gusar dengan rencanaku. Ia merapatkan mulut lalu menggera-gerakannya seolah sedang mengunyah sesuatu. "Oke." angguk Riki, akhirnya setuju. "Terus?"
"Terus, terus, kayak kang parkir lo!"
"Lah, terus gimana?" Riki geregetan. "Setelah pada keluar terus gimana? Kan gelap nggak ada lampu!"
Aku berkata sambil menunjuk-nunjuk satu titik pada ubin lapangan berkali-kali. "Karena itu kita perlu senter!"
Riki melongo menatapku. Ia berpikir cukup lama lalu berkata "Senter sebanyak apa buat ngeliat mereka satu-satu?" tanya Riki tak paham. "Yang ada kita digigit pas nyenter mereka satu-satu aku sayang ibu!"
Aku tertawa mendengar ketidakpahaman Riki. "Ya kita nggak pakai senter dan nyenter mereka satu-satu, lah!" ujarku sambil mengeplak kepala berrambut gimbalnya. "Kita pakai lampu gede!"
"Kan nggak ada listri!k" gugat Riki.
"Ada aki mobil!"
Riki baru mau membantah, tapi tidak jadi karena sadar maksudku. "Oh iya, iya." katanya pelan sambil nepok jidat sendiri.
"Makanya, sampai sore nanti kita keliling sekitar parkiran dan jalan raya depan, buat nyari mobil berkunci yang bisa kita kumpulin ke parkiran selatan. Sambil nyari makanan juga."
Riki ngangguk-ngangguk setuju sambil senyum girang. Ia masih membayangkan proses dari rencana yang aku sampaikan. Setelah puas, ia mengungkapkan sesuatu yang sepertinya sudah mengendap puluhan menit.
"Wen," katanya malu-malu. "Bisa kali, latihan nembak dulu," Aku menatap wajah Riki, menyadari satu hal yang memang perlu. Riki melengkapi kalimatnya. "Gue belum pernah megang senapan asli. Masa airsoftgun melulu. Jajal, dong. Bisa kali? Biar lebih siap menghadapi kenyataan." katanya beralasan.
Aku melihat ke arah senapan yang aku geletakan di sisi kanan. Riki mulai senyum-senyum menahan girang. Aku mengambil senapan itu dan memberikannya pada Riki.
"Awas, peluru tajam, tuh!" kataku memberi antisipasi."
"Iya, iya, selow!" katanya sambil berdiri. Tak lama berselang, suara letusan senapan terdengar dari senapan yang Riki arahkan ke atas, ke tembok perbatasan kampus dengan area pertokoan, dan ke batang-batang pohon.
DAR! DAR! DAR!
KAMU SEDANG MEMBACA
ZOMBLO APOCALYPSE
HumorHanya aku yang bertahan hidup di dalam kampus. Teman-temanku mati atau berubah jadi penggigit. Saat makanan di kampus habis, aku terpaksa keluar. Keadaan di luar sangat berbeda. Aku harus memastikan nasib keluargaku. Mungkin aku bukan satu-satunya p...