Kami memakamkan Petok di pantai pertama ketika sampai di pesisir. Alasannya, pasir lebih mudah digali, ketimbang tanah biasa. Wina terlihat sangat sedih. Air matanya membasahi pipi kanannya. Sepertinya mata kiri Wina mangpet. Aku juga sedih, meski tidak begitu. Lebih kepada perasaan tidak enak hati karena tidak bisa menjaga keadaan sesuai rencana. Tadinya kami hendak membebaskan Petok saat bertemu ayam broiler lainnya. Tapi takdir berkata lain. Petok wafat karena ledakan granat di kebon teh. Aku tidak tahu kalau arah lemparku adalah tempat Petok melepas penat selepas perjalanan berliku naik turun perbukitan menuju pesisir.
Kami memakamkan Petok dengan gaya militer. Aku membaringkan jenazahnya yang gosong tanpa bulu ke dalam lubang setengah meteran.
"Mirip ayam bakar, ya?" kataku. Wina nangis kejer mendengar itu dan memukul bahuku beberapa kali. "Iya, sori-sori." kataku.
Setelah membenamkan jenazah Petok ke liang lahat lalu mengubur dengan pasir menggunakan tangan, aku menembakan senapan satu kali ke atas .Membuat suara letupan bersatu dengan suara debur ombak yang bergulung-gulung. Karena harus hemat peluru, aku lempar tombak ke atas, biar tidak sekali-sekali amat. Wina menancapkan batu karang kecil sebagai nisan tanpa tulisan, karena tidak ada spidol.
Sebagai penutup, aku memberikan pidato penghormatan terakhir. "Salah seekor makhluk yang selamat dari huru-hara telah mendahului kita. Dia bernama Petok. Mobil yang membuatku bisa sampai ke tempat aku bertemu denganmu adalah mobil yang mengangkut dia. Aku tau mungkin ini terdengar tidak enak bagi seorang vegan ideologis. Tapi semoga di alam sana, Petok bisa bertemu dengan saudara-saudaranya yang sudah mendahului setelah menjadi opor, geprek, dan sate. Dan semoga kita yang masih bertahan, bisa terus bereproduksi dan melanjutkan kehidupan sebagai sepasang..."
Wina mencubit pinggangku dengan keras. Aku pun menyudahi pidato. Wina menamburkan kembang dari pohon-pohon kecil di sekitar pantai sementara aku menyiramkan air mineral.
Kami melanjutkan perjalanan menuju barat, menyusuri jalan pesisir yang kadang aspal, kadang beton. Melintasi hutan belantara di sebelah kanan dan banyak pantai di sisi kiri. Setiap kali melintasi desa, pemukiman dan bangunan, aku melambatkan laju truk dan membunyikan klakson berkali-kali. Berharap ada penyintas yang menyadari kehadiran kami lalu berlari keluar. Tapi hasilnya nihil. Hanya ada tanggapan dari sosok-sosok penggigit yang bersembunyi. Plang jalan demi plang jalan menuntun kami hingga sampai di perbatasan Cianjur-Sukabumi.
Saat sunset mulai mewarnai langit dengan jingganya, plang jalan di persimpangan yang menunjukan arah Ujung Genteng sudah bertuliskan 15 kilomenter lagi. Aku berhenti untuk mengutarakan rencana.
"Sudah mulai gelap. Kita harus mencari tempat berlindung." kataku dari balik kemudi, sementara mata mencari bangunan yang sekiranya aman.
"Bukannya sudah sampai?" tanya Wina terdengar kontra dengan rencanaku. "Nanggung, kali."
"Iya kalau kita langsung nemuin mereka." ucapku.
"Pasti mereka ada di pantai, kan. Di kapal perang gitu." balas Wina.
"Iya kalau mereka naik kapal perang. Kalau ternyata naik kapal tongkang kan jadi samar dengan kapal nelayan lokal."
"Ya sudah, terserah kamu saja!"
"Kok kamu judes begitu, sih?" tanyaku.
Wina berpangku tangan dulu dengan bibir manyun. "Kita kan sudah punya senjata!" jawab Wina. "Harusnya kita lebih leluasa."
"Tapi itu beresiko." tanggapku. "Aku nggak mau sesuatu terjadi sama kamu. Kalau kamu kena gigit, nanti aku kawin sama siapa?"
"Sama kebo!" ketus Wina.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZOMBLO APOCALYPSE
HumorHanya aku yang bertahan hidup di dalam kampus. Teman-temanku mati atau berubah jadi penggigit. Saat makanan di kampus habis, aku terpaksa keluar. Keadaan di luar sangat berbeda. Aku harus memastikan nasib keluargaku. Mungkin aku bukan satu-satunya p...