NEMBAK

14 3 0
                                    

Aku jadi tahu bahwa Wina sangat cekatan. Pantas saja ia selamat dari huru-hara di tokonya. Waktu siang mentereng kami masuk kembali ke Brigif untuk mengambil senjata, Wina menunjukan hal itu. Aku bertugas menarik perhatian para penggigit dengan membunyikan klakson dan sesekali berteriak "AGUUUS!" sebagai permintaan Wina. Dengan suara klakson dari truk yang aku jalankan berkeliling komplek militer, Wina jadi tahu bangunan mana saja yang ada penggigitnya dan jalur mana yang bisa ia gunakan sebagai jalan masuk menuju gudang senjata. Setelah memastikan jalan dan isi gudang senjata tak ada penggigit, Wina masuk selama lima belas menit, lalu keluar, berjalan mendekati truk dengan membawa 'hasil panen' dalam ransel dan jinjingan.

Empat senapan laras panjang M16, sepuluh magazine, delapan granat tangan, rompi anti peluru, sepasang helm baja, keris, tombak, dan busur panah.

"Kok ada keris segala?" tanyaku.

"Nggak tau." jawab Wina. "Mungkin tentara di sini dilatih menggunakan senjata jadul juga."

"Hmmm, masuk akal." kataku sambil membantu mengangkut bawaan Wina ke dalam bak truk yang sudah banyak tahi Petoknya.

"Sampai kapan kita bawa-bawa Petok kaya gini?" tanya Wina saat menaruh kotak kayu berisi granat bertuliskan 'JANGAN DIBANTING!'.

"Aku sih pengen ngebebasin Petok, tapi kok nggak tega, yah." jawabku.

"Padahal tadinya kita mau makan dia, yah." ujar Wina. "Mau kita jadikan opor."

Aku mengangguk. Sudah beberapa kali aku berniat menyembelihnya, tapi umur Petok terus manjang karena kami masih menemukan makanan baru, seperti yang ada di rumah kemarin. Sudah beberapa kali pula kami melihat ayam-ayam lain di jalan-jalan. Tapi Petok seperti punya ciri khas tersendiri. Ada semacam ikatan emosional yang sudah terjalin antara aku, Wina, dan dia. Mungkin Petok pun merasa demikian. Diam-diam bersenandung lagu D'Massive 'Di Antara Kalian' ketika melihat aku dan Wina berdampingan.

"Ya, sudah, nanti kalau kita ketemu ayam broiler yang sama, kita bebasin dia untuk memilih. Mau terus bersama kita atau bersama sebangsanya." ujarku.

"Kamu bijak banget." kata Wina dengan senyum rekayasa.

"Iya, dong. Emangnya kamu. Bajak. Bajak laut lagi."

"Kamu tuh bajak henpon." balas Wina. Kami sama-sama tertawa.

"Karena menurutmu aku bijak, apa kamu sudah jatuh cinta padaku?" tanyaku iseng, sambil menutup pintu bak truk.

Wina menatapku ragu. Tawanya semakin memudar lalu kepalanya menggeleng kecil. Entah sebagai jawaban 'belum' atau sebagai jawaban 'tidak yakin'. Yang pasti aku sudah merasa tak perlu ragu untuk terbuka. Wina sudah punya tunangan dan tentara Australia menunjukan bahwa masih ada kehidupan. Bayangan punya istri bule Australia mulai masuk ke dalam kepalaku.

"Kapan kita akan mulai latihan menembak?" tanya Wina.

"Di perjalanan menuju pesisir selatan. Di tempat sepi yang tidak ada penggigitnya biar bisa konsentrasi."

Kami pun memulai perjalan menuju selatan. Wina bilang, Ujung Genteng dan Pantai Cipatujah Tasikmalaya sama-sama di pesisir selatan. Jadi, berjalan ke arah barat dari Pantai Cipatujah akan membawa kami ke Ujung Genteng, Sukabumi. Perjalanan menuju pesisir selatan mebuka fakta baru yang tak jauh berbeda dengan perjalanan kami sebelumnya. Sepi dan berantakan. Pemukiman, pasar, kantor-kantor desa menunjukan sisa huru-hara berupa mayat dan puing sisa kebakaran. Selain hewan, kehidupan yang ada adalah kehidupan para penggigit yang berteduh di bawah teras-teras bangunan dan pepohonan. Saat melewati area perbukitan yang ada kebun tehnya, aku memutuskan untuk berhenti dulu.

"Jadi di sini kita latihan menembak?" tanya Wina setelah menyusulku turun dari truk.

"Iya." jawabku sambil berjalan menuju bagian belakang bak truk sementara Wina mengikuti. "Di sini jauh dari pohon-pohon besar. Cuma ada pohon teh. Nggak mungkin lah penggigit berteduh di pohon teh, kecuali dia ulet yang suka teriak pucuk, pucuk!"

Aku melepas slot kunci bak truk. Aroma tahi kotok langsung menyelinap ke hidungku. Petok berjalan sempoyongan ke ujung pintu, sepertinya sudah mual karena berdiam di dalam bak dengan perjalanan berkelok-kelok. Aku ambil Petok dan melemparknya ke jalan lalu mengambil dua senapan. Wina mengambil tas jinjing dan kotak granat.

"Kamu bisa menembak?" tanya Wina.

"Belum kalau senapan asli. Kalau senapan airsoft gun sering." jawabku. "Kurang lebih sama, lah."

"Lempar granat?"

"Belum pernah."

"Melempar tombak?"

"Belum. Tapi kurang lebih sama, lah, dengan lempar lembing."

"Lempar lembing pernah?"

"Belum."

"Dih, kocak!"

"Lagian ngapain kita latihan lempar tombak."

"Bercanda, ya elah." gerutu Wina.

Aku sudah menenteng senapan. Mengganti magazinenya, karena yang sebelumnya kosong lalu mengokang. "Aku akan menembak warung itu." kataku. Wina melihat arah warung yang kumaksud. Warung pinggir jalan di tepian atas kebon teh sisi kiri jalan.

DAR! DAR! DAR!

Tiga suara letusan pertama membuat Wina kaget dan menutup telinga. Bambu dan bilik warung di pinggir jalan berhamburan. Wina melepas tangannya dari telinga dan menjerit kegirangan "Wah, hebat!"

Aku langsung masang muka songong meski bahuku rada pegal menahan hentakan. Tapi aku yakin akan beradaptasi.

"Ayo coba." kataku mengarahkan pandangan pada senapan kedua yang ku simpan di ujung bak truk. Wina mengambil senapan itu.

"Aturan pertama, jangan pernah mengarahkan ujung senapan pada teman." ucapku sambil menghindari todongan tak sengaja dari Wina.

"Ini adalah bagian kunci." tunjukku pada bagian kunci trigger. "Lepas ini, kamu bisa nembak. Kunci ini, trigger tak akan bisa ditekan."

"Ayo coba." ujarku sambil memberi contoh.

Meski ragu-ragu, Wina mulai meniru sikap tubuhku. "Genggam erat dan siapkan bahumu dari hentakan." ucapku lagi. "Pandangan lurus ke ujung laras dan target."

Wina mengubah arah tembaknya ke warung yang sama. Ia menunggu arahanku selanjutnya.

"Siap?" tanyaku. Wina mengangguk kecil.

"Tembak!"

DAR!

"Lagi!"

DAR! DAR! DAR!

"Wohooo!" teriakku. "Coba tembak pohon itu!" pintaku, menunjuk pada pohon cemara kurus di antara pohon teh. Wina menurutiku. Mengubah sasaran. Aku melakukan hal yang sama. Suara letupan senapan kami bersahut-sahutan. Batang pohon cemara terburai-burai meski tidak semua peluru mengenainya.

DAR! DAR! DAR! DAR! DAR!

"Cukup!" ujarku. "Kita harus menghemat peluru, karena musuh kita mungkin banyak."

Wina mengangguk setuju. "Oke." katanya. "Enak juga."

"Memang nembak itu menyenangkan." ujarku. "Kalau diterima. Kalau ditolak sih bikin kesel."

Wina menatap judes campur senyum. "Bagimana dengan granat?"

Aku menatap kotak granat yang Wina simpan di bawah. "Aku belum pernah, cuma pernah lihat di film-film."

"Mau coba?"

"Why not?" jawabku. "Mumpung nggak ada yang bisa melarang kita. Jangankan melempar granat, melempar isu SARA saja kita bebas sekarang ini."

Wina senyum antusias. Aku mengambil granat. Melihat bagian-bagian untuk mempelajari. Mencari bagia pin yang biasanya ditarik sebelum dilempar. Setelah ketemu, aku menghadapkan tubuh ke kebon teh di sisi kiri. Wina melihatku dengan seksama.

"Ini bagian yang harus kita cabut." tunjukku. Setelah Wina terlihat mengerti aku menarik pin dan melempar granat. Tiga detik kemudian.

DUARRR!

Suara ledakan disusul suara jerit ayam. Aku sempat mengira Petok terkejut. Tapi bulu-bulu ayam yang berterbangan menjawab bahwa lebih dari itu.

Petok gugur saat latihan.

ZOMBLO APOCALYPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang