INTAN-FANDY

76 4 0
                                    

Yang paling menyedihkan bagi seorang 'obat nyamuk' sepertiku adalah ketika harus berperan juga sebagai keranjang curhat dari keduabelah pihak yang saling berkasih mesra. Berada di antara tiga pasang kekasih berdarah muda membuatku terpaksa menjadi pendengar setia dari cerita bahagia dan cerita cemburu. Seperti yang pernah Intan utarakan padaku di kantin, malam-malam, waktu ngejar dateline proposal naskah pra Produksi yang akan diajukan ke dosen.

"Gue ngerasa Fandy berubah deh, Wen." ungkapnya sekonyong-konyong, padahal barusan kita baru bicara soal menu yang akan dibuat dalam Produksi acara demo masak. Aku berusaha tidak menanggapi, berharap topiknya berganti sendiri. Tapi Intan malah curhat lagi.

"Dulu dia care banget sama gue." bisiknya lagi. Padahal mahasiswa yang ada di kantin duduk berjauhan. Aku masih diam, sambil terus melanjutkan ketikan pada laptop. Tapi aku sadar Intan mengubah pandangannya ke wajahku, menungguku memberi tanggapan.

"Emang begitu, Tan." tanggapku. "Dulu kan masih anget."

Intan menyandarkan tubuh ke kursi kantin. Sepertinya kecewa dengan pendapatku.

"Emangnya cowok begitu, ya?" Tanya Intan, tak kusangka.

"Begitu bagaimana?"

"Sayang banget di awal, tapi lama-lama cuek."

Aku mendengus. Tak percaya terlibat obrolan semacam ini. Tapi kucoba jawab sekenanya. "Yah, Tan, masa berharap anget terus? Nasi saja ada dinginnya setelah keluar dari magicom." Entah kenapa, aku menggunakan analogi itu. Sepertinya karena sedang berada di kantin.

"Iya, sih, Wen. Tapi kok drastis banget begini."

Aku mulai penasaran dengan perhitungan Intan. "Memang sedrastis apa, sih? Bukannya Fandy masih suka antar jemput elo?"

"Kalau itu sih iya. Kan rute dia pulang-pergi lewat rumah gue."

"Terus apa yang berubah?"

"Dulu dia selalu nelepon gue malam-malam. Pagi-pagi juga. Sekarang udah nggak pernah. Gue melulu yang nelepon dia duluan."

Bosan, kali. Hatiku ingin teriak meledek.

"Wajar, lah, Tan. Kalian, kan, udah dari kelas dua SMA. Udah nggak ada yang baru, yang bisa diceritain."

"Apa dia naksir cewek lain, ya?"

Bisa jadi! Sangat mungkin itu! Fandy melihat dunia baru bernama kampus, dan ternyata banyak sekali wanita yang lebih cantik darimu, Intan.

"Nggak, lah, Tan. Posesif thinking aja, lah."

"Positive thinking!" bantah Intan.

"Iya, itu." kataku.

Di sisi lain, Fandy pun mencurahkan keresahan hatinya di sela-sela penantian dosen yang sedang memberikan bimbingan skripsi. Jumlah dosen pembimbing yang berkurang akibat sakit membuat jatah bimbingan dosen yang sehat membengkak, sehingga kami yang bukan mahasiswa bimbingan dapat jatah bertemun paling buncit. Saat menunggu itulah curahat hati mengalir deras.

"Gue bete, Wen, dicemburuin melulu sama Intan."

Yah, Fan, gue mah mau banget dicemburuin cewe.

"Bukannya enak, ya, dicemburuin?" ujarku malas-malasan.

"Kalau dulu sih iya." jawab Fandy. "waktu baru-baru jadian."

"Bedanya apa emang?" tanyaku.

Fandy tak langsung menajwab. "Apa, ya?" pikirnya. "Kayanya karena dulu gue sama Intan kemana-mana berdua, jadi saling tau, Sekarang sering pisah, jadi bikin dia resah kayanya."

"Terus kenapa sekarang sering pisah?" pancingku. Buat senang-senang saja, sambil menunggu.

Fandy mikir lagi. "Kayanya karena gue bosen kalau terus-terusan bareng."

"Bukan karena ada yang lain?" godaku.

"Kagak, lah!" Fandy tanggap segera.

"Kok seolah-olah kaya nggak mungkin gitu?"

"Ya emang nggak ada, Wen." ucap Fandy dengan lembuat, memohon dipercaya.

"Belum, kali?"

"Ah, elo, mah, Wen."

"Cerita aja, Fan." godaku terus. Setelah itu Fandy mengubah sikap duduknya jadi bersandar, perlu menambah kenyamanan untuk melanjutkan pembicaraan.

"Baru sering ngobrol doang, Wen." ucap Fandy setelah celingak-celinguk, memastikan Intan tidak sedang menyamar jadi vas bunga di meja fakultas.

"Dia tau elo udah punya cewek?" tanyaku tajam.

"Nggak tau."

"Dia nggak nanya?"

Fandy menelan ludah. Tampak tegang. Padahal aku bukan bapaknya Intan. "Nanya, sih."

"Terus elo jawab apa?"

Fandy memelas minta pemakluman. "Belom punya."

Aku tertawa singkat. Merasa puas dengan drama yang ada. Sambil berharap kisah Fandy tidak memengaruhi kerja kelompok.

"Kalau dia mau sama elo, Intan elo putusin?"

"Buset, Wen, langsung banget sih!" keluh Fandy.

"Lah, kita kan sama-sama belajar jurnalistik. Pertanyaan kita mesti pertanyaan yang penting, dong."

"Udah kaya tersangka gue."

"Lah, emang." sahutku sambil senyum.

"Nggak lah, Wen. Gue sayang sama Intan."

"Tapi?" pancingku terus.

"Butuh selingan aja."

Ya, ya, ya.

"Jadi elo bakal jalanin dua-duanya?"

"Kalau gue diterima." sahut Fandy mensyaratkan kondisi. "Iya."

"Salut. Fandy pakboy." godaku. Dia terkekeh.

"Jangan bilang-bilang, Wen."

"Aman." jawabku singkat.

Dari situ aku paham perbedaan cinta dan sayang. Orang bisa mencintai yang lain, tapi belum tentu siap melepas yang sudah disayang. Pintu ruang bimbingan terbuka. Seorang mahasiswi keluar dari ruang dosen yang tadinya tidak tertutup rapat. Senior yang cukup terkenal karena kecantikannya.

"Halo, Fan." sapa senior itu.

"Halo, Vivi." balas Fandy.

Memanggil senior tanpa kata 'kak' cukup menandakan sesuatu bagiku.

ZOMBLO APOCALYPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang