"AAAAAA!" suara teriakan Ratri memekakan telingaku. Suara teriakan lain menindihnya, entah suara siapa. Aku sudah merasakan nyeri pada bahu dan tangan yang terkena cengkraman para penggigit.
DAR! DAR! DAR!
Suara letusan terdengar membuat telingaku berdenging. Kemudian tubuhku seperti ditarik balik ke tempat terang, menjauh dari naungan atap teras. Lalu suara tembakan lagi.
DAR! DAR! DAR!
Suara tembakan yang disusul lepasnya cengkraman para penggit dari tubuhku. Pandanganku menjadi samar karena lemas. Langit-langit teras terlihat ngeblur. Rasanya ingin pingsan. Tapi suara itu membuatku sadar sekejap.
"TARIK!" teriak suara itu. "TARIK!"
Suara yang masih sangat kau ingat. Aku sempat melilhat paras cantiknya di atas kepalaku, sebelum aku melihat hitam pekat yang menutup mata. Entah berapa menit kemudian aku baru bangun. Yang pasti di hadapanku sudah ada Wina. Bersama seorang pria.
"Pingsan kok lama banget, sih!" protes Wina. "Pingsan atau tidur?"
Aku nyengir maksa. "Win." sapaku. Aku hendak menjelaskan bahwa aku memang benar-benar ngantuk. Makanya aku sengaja meneruskan pingsanku dengan tidur. "Berapa jam aku pingsan?" tanyaku.
"Tiga jam, Wen." jawab Fandy di belakangku. Ternyata kami berada di pojokan parkir kampus yang teduh. Aku melihat dua penggigit yang tadinya ada di sana sudah terkapar. Semua duduk melingkari aku dan dua sosok lainnya yang sudah sadar lebih dulu. Alex dan Ratna. Keduanya sudah kembali menjadi manusia normal. Di kening dan leher Alex sudah ada perban yang masih baru, sementara di pundak dan tangan Ratna juga. Sayang sekali aku tak bisa ikut serta dalam proses pengobatan mereka.
"Hai, Wen." sapa Ratna, berhenti dulu dari gerakan menenggak minuman kaleng Cap Kaki Tiga.
"Halo, Wen." sapa Alex yang sedang memegang Pop Mie. "Welcome back, bro. Are you oke?"
Aku mengangguk, menjawab semua sapaan. Aku melihat Riki sedang tidur bersandar pada tembok perbatasan area kampus dengan pertokoan. Ratri duduk di sampingnya sambil makan roti sobek. Ia menoleh padaku dan tersenyum.
"Kenalin, Wen." sahut Wina, membuatku berhenti menatap Ratri.
"Halo, A Agus." sapaku tersenyum pada pria berompi, bercelana loreng, dengans senapan M16 menjadi sandaran tangannya. Badannya kekar, rambutnya cepak. Tentara banget.
Wina tertawa kecil. "Bukan A Agus." ujarnya.
"Oh." aku melongo.
"Roni." kata pria itu tersenyum.
"Oh, sori, saya kira,"
"Nggak apa-apa. Santai." katanya memberi isyarat tangan. "Agus teman satu kompi saya. Dia tidak selamat."
Aku melirik pada Wina lalu mengangguk. "Turut berduka, Win."
Wina hanya merapatkan mulutnya sambil mengangguk. Tapi aku merasakan kekecewaan yang tiba-tiba. Perasaan yang aku pendam karena belum bisa menjelaskan sumbernya.
"Jadi kamu yang menarikku dari teras?" tanyaku pada Wina.
"Iya." jawab Wina. "Dibantu Mas Roni."
Aku mengangguk, melihat bergantian ke Wina dan Roni. "Terima kasih, guys."
"Sama-sama, bro." jawab Roni.
Aku berusaha mengingat kejadian sebelum pingsan dan mencari jawaban dari apa yang aku saksikan. Aku menemukannya. "Oh, jadi itu!" tunjukku pada bingkai cermin yang bersandar pada sebuah mobil Pajero Sport Hitam, bersebelahan dengan truk IKEA.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZOMBLO APOCALYPSE
HumorHanya aku yang bertahan hidup di dalam kampus. Teman-temanku mati atau berubah jadi penggigit. Saat makanan di kampus habis, aku terpaksa keluar. Keadaan di luar sangat berbeda. Aku harus memastikan nasib keluargaku. Mungkin aku bukan satu-satunya p...