Kami sarapan dengan sosis yang sama dengan kemarin. Wina mengambil dari kotak freezer milik tenant dan memasaknya di pangangganan. Ia juga menyuguhkan kopi hasil giling sampel produk mesin brewing yang dijual bareng kitchenset modern di salah satu showroom. Membuatku sempat menghayal jadi seorang suami. Ayam broiler sudah aku empanin auran beras dan mie instant yang aku remas-remas dulu.
"Kita potong dia sekarang buat makan siang atau nunggu dia tambah besar dulu?" tanyaku pada Wina, mengarah pada ayam broiler yang sedang mematuk-matuk mie di karpet putih yang sudah banyak noda tahi ayamnya.
Wina menyipit, berpikir, lalu menjawab. "Kok aku jadi kasihan, yah." katanya. Aku diam, mencoba berempati. Perasaan Wina masuk akal.
"Berarti kita bawa saja dia ke rumahku." ucapku memberi pilihan.
Wina belum melepas pandangannya pada ayam itu. "Itu mungkin ayam terakhir yang bisa kita makan." katanya melas.
"Aku yakin kita masih bisa nemu ayam lagi nanti."
Wina mengela napas. "Iya, sih." katanya. "Kasihan dia, tak ada teman."
Aku mengangguk lalu diam. Bingung mau menanggapi apa. Lalu terpikir sesuatu untuk berkata "Memang, sendirian itu tidak enak." bukaku. "Kalau kita nemu ayam lain kita biarkan mereka berkembang biak biar mereka tidak punah"
"Iya, kita carikan jodohnya." angguk Wina.
"Harus segera!" ucapku cepat. Wina mengangguk lagi. Aku berharap kode halusku masuk dulu ke benak Wina, untuk kemudian mengendap, dan menyeruak suatu saat yang aku harap segera. "Kita yang masih hidup ini punya tanggung jawab untuk memastikan spesies yang ada di Bumi tidak punah."
Wina mengangguk tanpa memalingkan wajahnya dari ayam.
"Terutama spesies kita sendiri." tambahku.
Wina menoleh kepadaku sebelum mengangguk lagi. Aku tak kuat lama-lama melihatnya, terutama ketika ia sedang melihatku.
"Iya." ucapku Wina. Membuatku keringat dinginku keluar dari dahi. "Semoga masih banyak manusia lain yang selamat." ucapnya.
Aku menelan ludah, mengangguk, merasa canggung sendiri atas ucapan sendiri. Untungnya, Wina tidak membahas lebih jauh konsep yang aku kemukakan.
Wina terlihat memikirkan sesuatu lalu berkata "Kita cari mobil dulu, kan?"
"Iya." jawabku. "Yang ada kuncinya."
"Yang pasti ada kuncinya di basement. Mobil pengunjung yang gagal keluar karena keburu dimangsa."
Aku berpikir sejenak, membayangkan kemungkinan keberadaan mobil yang berkunci. Benar yang Wina katakan. Yang sudah pasti ada kuncinya pasti yang tadinya akan dikendarai pemiliknya.
"Bagaimana dengan mobil toko?" tanyaku. "Ada banyak, kan? Kuncinya pasti ada."
Wina mengangguk. "Iya." jawabnya. "Tapi semua ada dibasement, karena pengangkutan barang pembeli semua dari bawah. Terlalu bahaya!"
Aku seruput kopi dulu sambil berpikir. Wina juga tampak begitu.
"Satu-satunya harapan kita adalah mobil-mobil yang parkir di luar. Memang nggak banyak seingatku. Tapi barangkali ada."
"Semoga." ujar Wina sambil menyentak lantai tanda berharap.
"Ruang monitor CCTV di mana?" tanyaku terpikir sesuatu.
"Di ruang security sebelah ruang ganti karyawan di lantai ini."
Aku senang mendengar itu. "Kita pantau dari situ." ucapku langsung berdiri. Wina mendongak dari duduknya lalu ikut berdiri, berjalan ke arah lorong dekat tangga jalan, setelah meminta aku ikut dengan isyarat tangannya. Wina masuk lebih dulu ke ruang keamanan yang pengap karena AC nya mati. Dugaanku benar. Ada radio panggil berjajar di meja komputer yang menjadi salah satu monitor CCTV.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZOMBLO APOCALYPSE
HumorHanya aku yang bertahan hidup di dalam kampus. Teman-temanku mati atau berubah jadi penggigit. Saat makanan di kampus habis, aku terpaksa keluar. Keadaan di luar sangat berbeda. Aku harus memastikan nasib keluargaku. Mungkin aku bukan satu-satunya p...