Aku mesti menyeberangi jalan raya depan kampus lalu memanjat pagar untuk sampai di jalan tol, setelah melempar dulu ransel dan menyelinapkan linggis melalui celah pagar besi jalan tol. Kampusku sering disebut kampus pinggir tol, karena dari jalan tol Jakarta-Tangerang, gedungnya terlihat mencolok. Saat ini, keadaan jalan tol sangat asing. Mobil-mobil terlantar. Bus PPD, Mayasari, dan mobil-mobil pribadi terparkir di tengah jalan. Beberapa masih mengepulkan asap. Di jajaran sebelah kanan tampak lima mobil berdempetan karena tabarakan beruntun. Pintu-pintunya terbuka tanpa terlihat penumpang yang sudah pada keluar entah ke mana. Beberapa yang tak kuat aku lihat lama-lama masih ada mayatnya. Lukanya bukan akibat kecelakaan, melainkan luka gigitan.
Aku yakin jalan tol ini jalur yang aman bagiku untuk berjalan. Cahaya matahari siang tak terhalang gedung atau pepohonan. Ingin rasanya membawa mobil yang terbengkalai, tapi aku jijik. Beberapa mayat sepertinya mati sebelum sempat berubah. Beberapa wajah dan tangannya menghitam karena terbakar sinar matahari karena tak sempat bersembunyi, sebagaimana penggigit lain yang tak sempat mencari tempat berteduh di pinggir-pinggir jalan tol. Saat melewati pinggiran bus Mayasari AC34, sepasang tangan menggebrak kaca. Aku menjauh seketika. Penggigit di dalamnya mengerang-ngerang dan melotot ke arahku. Dia masih hidup, tapi tak tahu cara keluar dari bus itu. Aku tak berani menghitung jumlah mayat atau penggigit yang mungkin ada di dalamnya, aku buru-buru berlari menjauh.
Sebuah mobil menarik perhatianku. Masih ada yang bergerak dan bersuara di belakangnya. Tapi bukan manusia, melainkan ayam, eh, ayam. Iya. Benar-benar ayam. Sebuah mobil colt hitam bak terbuka dengan keranjang ayam broiler. Pikiranku langsung membayangkan ayam bakar. Kebanyakan sudah mati, tapi yang masih hidup lumayan. Naluri kuliner membuatku mengambil air mineral dari ransel lalu menyiramkannya ke beberapa ayam di beberapa keranjang, agar mereka tetap hidup sampai aku menyembelihnya nanti. Setelah habis dua botol, aku kembali ke dekat kabin.
Ada banyak noda darah yang sudah menghitam di kabin. Aku lihat kunci dengan gantungan bentuk gajah bertuliskan Thailand masih menggantung di lubang kontak. Aku coba putar tapi mesin tidak sampai menderu. Haya sampai suara,
CENGEGES...CENGENGES...CENGEGESAN...
Aku coba lagi
CENGEGES...CENGENGES...CENGEGESAN...BREMMMM....
Hatiku sangat senang mendengar deru mesin. Meskipun bau ayam, aku tak peduli. Aku masukan ransel dan linggis ke dalam kursi samping kemudi lalu duduk di balik kemudi dan menutup pintu. Aku oper pernseling kemudian memutar arah mobil ke barat. Tak peduli meski harus melawan arah, karena tak ada putaran di jalan tol. Lagi pula, kalau sampai berpapasan dengan mobil dari arah lain aku malah bahagia karena berarti masih ada kehidupan.
Aku melajukan mobil dengan meliku dulu untuk menghindari truk dan mobil-mobil pribadi, lalu jalanan menjadi cukup lengang. Tak ada kendaraan lain baik di jalan tol maupun jalan-jalan yang aku lihat di sekitar. Tak ada manusia kecuali para penggigit di kolong fly over yang melewati jalan tol, mengerang dengan tangan menjulur ketika mobil ayamku melintas. Aku melewati gedung MNC dan Metro TV, sampai perbatasan ibu kota dengan Banten. Empat kepulan asap hitam di rest area kanan maupun kiri memilukan hati. Membuatku terus mengingatkan diri untuk kecewa ketika sampai di rumah nanti. Tapi belum sampai ke kota sendiri, mobil tiba-tiba mati. Mesin endut-endutan, kemudian mati. Aku oper perseneling ke netral agar mobil bisa terus melaju sampai berhenti tanpa direm. Roda mobil berhenti berputar setelah melewati fly over yang melinatasi jalan tol menuju perumahan Green Lake City. Dua penggigit, yang aku tebak sopir truk kontainer dan keneknya yang parkir dekat rest area mengerang ke arahku, tapi tak berani keluar dari naungan bayangan fly over di atas mereka. Aku coba putar lagi kunci kontak, tapi mesin hanya cengengesan. Berkali-kali, masih juga begitu. Saat aku melihat ke dashboard, ternyata bensinya habis. Aku menggebrak kemudi karena emosi. Bukan apa-apa, matahari di ujung sana sudah mulai bersembuyi di ufuk barat. Bayang-bayang fly over sudah condong ke timur. Tak lama lagi, tak ada bayangan sama sekali di sepanjang jalan tol ini.
Aku bergegas turun dari kabin mobil lalu memanggul ransel dan memasukan linggis ke dalamnya. Aku berjalan cepat ke bak mobil lalu mencari sosok ayam terbesar dalam keranjang. Aku angkat bagian atasnya, lalu mengambil satu ekor. Melihat ayam-ayam lain, aku tak tega. Aku buka semua keranjang itu, membiarkan ayam-ayam yang masih hidup bisa bebas. Mereka berhak bertahan hidup, pikirku. Satu ekor yang aku pegang adalah pengecualian.
Suara erangan di belakang terdengar lagi. Meskipun mereka berdiri jauh karena harus terus berada di bawah bayangan, tapi sorot matanya seolah menanti tak terlihatnya matahari. Aku menyisir pandangan ke sekitar. Mencari tempat paling berpotensi untuk bersembunyi. Sebuah gedung menarik perhatianku. Gedung IKEA di sisi kiri jalan tol. Aku berlari menenteng ayam ke arah gedung itu. Melewati batas jalur tengah jalan tol, melintasi semua lajurnya, menuruni dan menanjaki rerumputan, lalu melempar ayam dan ransel melewati tembok beton. Aku memanjat tembok beton batas jalan tol dengan jalan biasa, lalu berlari menangkap ayam yang untungnya tidak begitu lincah, karena mungkin sudah lemas, seharian tak makan. Aku kembali memanggul ransel dan berlari mendekati area parkir IKEA, masuk melalui gerbang parkir. Cahaya matahari sudah meredup terhalang gedung-gedung di perumahan. Suara erangan di sekitarku mulai terdengar. Aku melihat gerbang pintu kaca di sisi barat gedung lalu berlari ke arahnya. Ngos-ngosan tak terkira. Lalu tiba-tiba ada suara dari atas.
"NGAPAIN KAMU?" tanya sura itu. Aku mendongak. Seorang wanita aku rasa. Berdiri di balik jendela lantai dua.
"HEI, TOLONG!" teriakku. "SAYA HARUS BERLINDUNG!"
"KAMU TERGIGIT TIDAK?" tanyanya lagi. Suara erangan semakin nyaring terdengar di jalur parkiran menuju basement.
"TIDAK! SAYA TIDAK TERGIGIT!"
"COBA BERPUTAR!" pintanya.
"NANTI SAJA! PARA PENGGIGIT SEBENTAR LAGI KELUAR DARI BASEMENT!"
"MAKANYA CEPAT BERPUTAR!"
Aku pun menurutinya. Mengangkat tangan dan kaki, menunjukan tidak ada bekas luka. Setidaknya dia tak sampai memintaku joget tik-tok dulu.
"CEPAT MASUK!" katanya.
Aku langsung ngibrit ke arah pintu kaca.
"BUKAN KE SANA, WOY!" teriak wanita itu. "GERBANG DARURAT SEBELUM BASEMENT!" katanya sambil menunjuk ke arah yang dimaksud. Aku langsung mengganti arah. Berlari ke arah tunjukknya. Aku memutar tuas pintu besi tebal bertuliskan pintu evakuasi itu, tapi tidak terbuka. Suara erangan dari jalur basement semakin nyaring. Aku bisa melihat wajah-wajah dan tangan-tangan penggigit di kegelapan. Aku putar tuas lagi, tapi pintu tidak terbuka. Aku mulai mengira bahwa aku telah ditipu. Tapi pintu terbuka tanpa aku putar lagi.
"Maaf. Aku kunci dari dalam." katanya. "aku turun dulu."
Aku tak perlu penjelasannya. Masuk ke pintu yang terbuka sudah sangat membuatku lega. Selain bahagia karena berhasil berlindung, juga karena wanita ini masih muda. Seumuran aku rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZOMBLO APOCALYPSE
HumorHanya aku yang bertahan hidup di dalam kampus. Teman-temanku mati atau berubah jadi penggigit. Saat makanan di kampus habis, aku terpaksa keluar. Keadaan di luar sangat berbeda. Aku harus memastikan nasib keluargaku. Mungkin aku bukan satu-satunya p...