Aku memarkir truk di jalanan depan kampus. Mengamati dulu keadaan halaman kampus yang sepi namun berantakan seperti keadaan saat aku tinggal. Gerbangnya masih tertutup, jadi aku membukanya dulu dengan susah payah agar truk bisa masuk nantinya. Bangkai satpam, dosen, dan mahasiswa masih bergelimpangan. Beberapa sudah dibelatungi. Bangkai penggigit yang gosong tampak kering. Aku berjalan menuju pintu depan gedung utama dengan senapan menyelempang dan ransel. Aku mendekat bukan untuk masuk, karena tahu sumber kerumunan penggigit ada di di lobby lantai satu, hanya ingin melihat sebanyak apa penggigit yang masih bertahan dan belum mati lemas karena tidak dapat mangsa enam hari. Ternyata masih sangat banyak. Lima penggigit yang melihatku langsung berlari mendekat, namun hanya sampai teras. Aku mundur sebagai antisipasi. Kalau-kalau rasa lapar seminggu membuat mereka nekat. Tapi tidak terjadi. Mereka takut keluar ke sisi terang yang hanya setengah meter dari tempat mereka berdiri.
Aku lanjut berjalan lewat parkiran barat, jalur pelarianku waktu itu. Bangkai penggigit yang sempat mencegatku tergeletak dengan linggis masih menancap di wajah. Lalat-lalat berterbangan mengerubungi bagian kepalanya. Pecahan kaca dekat pohon tempatku mendarat juga masih telihat berserakan. Aku mendongak ke arah jendela toilet lantai dua. Berharap Riki terlihat. Namun tidak ada sosok di dekat jendela.
"RIKIIIII!" teriaku sambil mendongak, meningmbulkan gema berulang-ulang. Erangan dari aula dan pepohonan pinggirannya menyahuti teriakanku. Aku bersiaga dengan senapan lalu teriak lagi.
"RIKIIIIII!".
Tak ada penampakan Riki dari toilet lantai dua. Aku terpaksa masuk ke gedung utama lewat pintu utara dengan menggedor-gedor dulu pintu alumunium berkaca untuk memancaing keluar penggigit di sekitar. Empat penggigit sekaligus keluar dari lorong dekat tangga, berlari mendekati pintu. Aku mundur dua langkah agar tetap berada di sisi terang. Aku lihat-lihat dulu wajah keempat penggigit. Tidak ada yang aku kenal. Terpaksa.
DAR! DAR! DAR! DAR!
Keempatnya jatuh. Aku sengaja tidak menembak kepala mereka, melainkan kakinya. Sebuah keputusan yang sudah aku pikirkan. Berharap mereka bisa bertahan sampai anti virus tersedia. Harapan kecil yang harus tetap aku anggap besar karena alasan kemanusiaan. Saat keempat penggigit itu ngesot terseok-seok berusaha mendekat, aku lari ke arah pintu, melompati dua sosok di sisi kanan. Tangan mereka hampir menggapai kakiku. Aku lanjut berlari menapaki tangga menuju lantai dua. Senapan terus aku arahkan ke depan. Langkah kaki aku senyapkan dengan berjinjit. Tak bisa lebih cepat karena gelap. Terang yang ada karena cahaya dari luar yang memantul pada lantai keramik.
Aku berhenti di tembok ujung lorong lantai dua. Mengintip lorong barat. Di sini sama gelapnya. Terbantu cahaya dari toilet yang jendelanya sudah pecah. Ada tiga penggigit berdiri di tengahnya. Salah satunya Riki! Perawakan gemuk dan rambut gimbalnya membuatku tahu meski cahaya minim.
Aku menarik napas panjang. Menyadarkan kepala agar bisa berpikir lebih santai. Aku membuat perhitungan. Tapi masih perlu satu paket gerakan yang akan mengubah urutan. Riki harus jadi yang paling depan. Aku pun menyeberangi ujung lorong. Membuat penggigit terdekat menoleh, mengerang, tapi tidak mengejar, karena aku tidak lagi terlihat. Aku berjalan perlahan ke ujung lorong timur, mengintip ke arah ujung lainnya. Kosong. Lanjut berjalan ke ujung lorong barat, Aku mengintip dulu. Dari sisi ini sekarang Riki paling depan. Tinggal aku buat mengitari lorong.
Aku menyumbat dua telingaku dengan satu tangan. Menempelkan bahu kiri pada telinga kanan, sementara telapak tangan menggapai telinga kanan. Mirip anak SD di setrap. Lalu senapan aku arahkan ke atas.
DAR!
Suara letupan disusul erangan. Langkah kaki terburu-buru mulai memburu. Aku langsung berlari ke ujung lorong timur, sembunyi di balik tembok. Sosok Riki dan dua penggigit datang mendekat. Kini arah pandang mereka sudah sama. Aku menampakan diri dalam gelap, berharap terlihat. Cahaya dari jendela lantai cukup membuatku terlihat sosok Riki dan dua penggigit. Mereka mendekat dengan cepat. Aku mundur perlahan, kemudian berbalik dan berlari. Aku tahan diri dari berbelok agar tiga pengejarku melihat dulu. Setalah cukup dekat, aku belari ke arah toilet lalu berhenti menunggu agar Riki melihat. Saat dia mendekat aku masuk, langsung bersembunyi di balik pintu toilet. Tangan Riki sudah terlihat menjulur. Saat itu pula aku menusukan anti virus, lalu menutup pintu. Aku menendang Riki dengan keras hingga tersungkur ke dekat jendala lalu belari ke bilik toilet pertama, mengunci diri. Dua penggigit di luar mengerang-erang sambil menggedor pintu terus-menerus. Tak lama pintu bilik toilet yang digedor-gedor oleh Riki. Aku menahan pintu bilik dengan tanganku. Gedoran tangan Riki terus belangsung seiring erangannya yang keras. Satu menit kemudian gedorannya melemah, juga erangannya. Tak lama aku mendengar suara tubuh terkapar ke lantai. Dari celah bawah pintu bilik toilet aku melihat tangan Riki terkulai. Tangan yang memiliki bekas luka bakar karena sinar matahari. Aku buru-buru keluar mendekati pintu toilet lalu duduk bersandar menahan dorongan dua penggigit. Seandainya mereka mampu berpikir, mereka tinggal memutar tuas pintu. Pungungku bergetar-getar karena gedoran pintu. Aku menunggu dua menit. Kemudian Riki bergerak. Kepalanya mengangkat, duduk dengan susah payah, lalu menatap ke arahku dengan lambat.
"Wen?" katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZOMBLO APOCALYPSE
HumorHanya aku yang bertahan hidup di dalam kampus. Teman-temanku mati atau berubah jadi penggigit. Saat makanan di kampus habis, aku terpaksa keluar. Keadaan di luar sangat berbeda. Aku harus memastikan nasib keluargaku. Mungkin aku bukan satu-satunya p...