SENJATA HARAPAN

13 3 0
                                    


Kami sudah belindung sebelum gelap. Wina mengajakku ke rumah mewah di jalan raya kota. Wina bilang itu adalah rumah idamannya selama ini. Gerbang rumah itu terbuka dengan bagian teras yang berantakan dengan koper, tas, dan baju-baju yang berserakan. Sepertinya pemilik rumah terburu-buru pergi. Kami biarkan Petok bermain di halaman rumput berpepohonan hias, sesekali mematok tanah mencari makan, meski kami sudah memberi auran beras.

"Sejak SMP aku sering lewat rumah ini. Penasaran banget sama dalamnya, akhirnya kesampaian."

"Selamat, yah." ucapku. "Sekarang malah kamu bisa jadi pemiliknya.Kita adalah pemilik semua properti yang ada di negeri ini."

Wina merapatkan kedua bibirnya. Membuatnya semakin tampak lucu dan menggemaskan. "Iya juga, yah." katanya, seperti baru menyadari.

"Semua yang di Jakarta, Tangerang, dan semua daerah yang kita lewati kemarin, sekarang nggak ada yang punya, jadi bisa kita akuin." ujarku.

"Tapi nggak ada artinya kalau dunia ini sepi." keluh Wina. "Kita harus cari orang-orang yang selamat" ucap WIna.

"Atau kita membuatnya sendiri." sambarku cepat. Aku pandangi dulu Wina dengan tatapan tumpul agar dia tidak ketakutan. "Maksudku, harus ada yang melakukan itu. Tidak harus sekarang juga."

Wina menatapku dengan dingin. Membuatku merasa bersalah.

"Tidak harus kita." ucapku dengan gerak tangan membuka-tutup. Wina berhenti menatap. Cukup mengurangi kecepatan detak jantungku.

"Kenapa kamu nggak bilang sih kalau kamu udah tunangan?" tanyaku.

Wina menjawab dengan lesu. "Kamunya kan nggak nanya. Ngapain juga aku kasih pengumuman."

"Iya juga, yah." balasku. "Tapi itu kan membuatku jadi berharap."

"Berharap apa?"

"Berharap," aku pikir-pikir dulu, kalau-kalau ini terlalu vulgar. "berharap aku bisa....dengan kamu...menambah lagi jumlah populasi."

Wina malah tertawa. Itu membuatku lega malah, karena aku kira bakal marah atau ketakutan. "Sori kalau bikin kamu berharap begitu. Aku masih berharap A Agus masih hidup. Mungkin dia sedang tugas ke luar waktu penggigit merajalela."

"Iya. Bisa aja." kataku, menahan kata 'semoga'.

"Kamu yakin arti ucapan radio itu kita harus ke Sukabumi?" tanya Wina berubah serius. Kamu nggak salah ngerti?"

"Nggak." gelengku. "itu yang aku dengar. Nggak semua aku ngerti, tapi ada kata-kata Navy, Australia, comer to Ujung Genteng, Sukabumi. Itu pasti arahan dari mereka agar kita ke sana. Nggak mungkin kan kalau mereka nawarin genteng buat atap rumah?"

Wina menggaruk-garuk rambutnya, membuat ketombenya berjatuhan. Bagiku itu terlihat seperti hujan salju di awal musim panas. "Bukannya Navy itu temannya biru dongker?"

"Bukan," jawabku menjawab keluguan. "Navy itu angkatan laut."

"Mau ngapain Angkatan Laut Austaralia ada di Sukabumi?"

Aku membuka tangan, isyarat terbuka pada kemungkinan. "Mungkin di Austarlia ada kekacauan juga, dan mereka mau tau nasib tetangga mereka, jadi mereka pergi ke Jakarta, supaya nggak muter lewat Selat Sunda atau Selat Bali, mereka berlabuh di Sukabumi."

"Berarti kekacauan ini skala global?" simpul Wina.

"Bisa saja:" jawabku, menaikan bahu. "Internet keburu mati, komunikasi antar benua berhenti. Satu-satunya cara untuk berkomunikasi adalah dengan mengirim utusan. Dan Angkatan Laut itu utusan Kaisar Australian."

Wina melongo. "Emang Australia kekaisaran? Bukannya Kesultanan, yah?"

"Bercanda, ya elah." jelasku.

Wina diam berpikir dulu sambil megang-megang dagunya yang lancip kaya tusuk gigi kingkong. "Aku takut itu adalah jebakan." ucap Wina.

"Jebakan siapa?"

Wina menaikan bahunya. "Nggak tau. Ya bisa saja orang jahat yang menjadi dalang semua kejadian ini. Ternyata bukan tentara Austarlia. Atau tentara Australia yang jahat."

"Untuk apa mereka menjebak kita?" tanyaku.

"Untuk memastikan semua orang mati. Biar orang-orang yang selamat kaya kita ink ikut mati juga."

Giliran aku yang megang-megang dagu jenggot selembarku sambil membuka pikiran. "Hmmm. Bisa jadi, sih." gumamku. "Tapi kita tetap harus ke sana untuk memastikan. Kita intip pelan-pelan biar kita nggak terjebak.". Aku melihat Wina dalam keraguan yang sangat kental. Membuatku butuh keyakinan dengen bertanya "Kamu ikut, kan?"

Wina diam. Malah mendongak memandang langit-langit. "Aku sih maunya nyari A Agus."

Aku menahan diri untuk tidak berdecak keluh. Hanya menghela napas. Sedikit memaklumi keresahan dan keinginannya. "Kalau tunanganmu masih hidup, dia pasti lebih cekatan dari kita. Dia kan tentara. Bisa nembak, bisa berantem. Lagi pula, kalau pun tunanganmu tidak selamat, aku siap menggantikannya."

Wina memukulku cukup keras. "Ah, aku serius!" ambeknya. Aku pura-pura menghindari pukulannya, padahal berharap kena. Kena lagi. Kena terus. "Kalau tunanganku diserang penggigit waktu nggak megang senapan, bisa saja dia kalah dan nggak selamat."

Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu atas ucapan Wina atas ucapanku sebelumnya. "Nah, itu!"

Wina melongo. "Itu apa?"

"Itu!" seruku lagi. "Kita harus ganti senjata. Kita ambil senapan yang ada di Brigif kemarin sebelum kita ke Sukabumi supaya lebih aman. Kalau pun itu jebakan seperti yang kamu takutkan, kita punya modal untuk bela diri."

Wina langsung ngangguk-ngangguk. "Benar juga!" katanya semangat, lalu lemas lagi. "Tapi,"

"Kenapa?" tanyaku. Wajah Wina terlihat khawatir.

"Senapan mereka ada di gudang." ucapnya pelan. "Itu berarti kita harus masuk."

Aku menimbang-nimbang. Memilih mana yang lebih berbahaya: Mengambil senapan dari penggigit yang menyelempangkan senapan, atau mengambil dari gudang senjata.

"Kamu tau gudangnya?" tanyaku.

"Tau." jawab Wina. "Di antara mess dan barak."

"Barak Obama?"

"Bukan, barak sekebon."

"Oke!" Aku menjentukan jari. "Besok siang kita kembali ke sana!"

ZOMBLO APOCALYPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang