PELUANG

18 3 0
                                    


Nama gadis penyelamatku adalah Wina. Aku diajak masuk dan menuju lantai dua IKEA. Tidak ada yang lebih rumah dari semua yang ada di sini. Kasur empuk, bantal guling yang lembut, kamar mandi yang mewah, tinggal pilih saja. Memang, semua adalah benda pameran, tapi semua berfungsi dengan baik. Setelah memberiku sosis dan es teh manis dari tenant yang menyewa foodcourt di lantai tiga ia mulai bercerita setelah aku tanya-tanya. Tak lupa memberi makan ayam satu-satunya, yang aku umbar begitu saja, makanan yang sama plus beras yang Wina ambil dari kamar ganti karyawan.

"Aku tiba-tiba diangkat jadi manajer." katanya sambil melihatku makan dengan lahap di atas sofa berbrosur harga, sementara dia di kursi kayu. "padahal baru kerja satu bulan." katanya.

"Wah, sukses dong karir kamu."

"Bukan karena itu, lah!" katanya seolah diledek. "Soalnya manajerku yang baru diangkat jadi manajer, karena manajer yang lama sakit, sakit."

Meski sempat berpikir untuk bisa mengerti, aku ngangguk-ngangguk dengan mulut penuh sosis. "Kena juga ya?" kataku berharap dimengerti.

"Iya." ternyata mengerti.

"Terus bagaimana kamu bisa sendirian di sini?"

"Karena sebenarnya toko sudah tutup dari kemarin. Sejak ada penggigit ngamuk dan menularkan ke yang lain. Polisi dan tentara bantuin evakuasi pengunjung dan karyawan, karena di luar dan di jalanan sudah banyak penggigit. Pas giliran aku dan beberapa karyawan, truk pengangkutnya habis. Kami harus menunggu. Tapi ternyata nggak ada yang balik lagi. Empat karyawan lain tidak tahan dan memilih pulang sendirian. Dua di antaranya kena gigit waktu turun tangga ke basement. Sejak saat itu aku membuat blokade pake troli di tangga jalan dan lift. "

Aku membayangkan betapa menegangkannya hari Wina saat itu. "Ada berapa banyak penggigit di sini?" tanyaku sebelum nyeruput es teh manis.

Setelah mengira-ngira, Wina menajwab. "Puluhan, kayanya. Kebanyakan di basement karena mencoba pulang naik kendaraan sendiri. Padahal, di basement sudah banyak yang tergigit. Banyak yang berubah pas di dalam mobil."

"Menurut kamu berapa lama perubahan sejak tergigit sampai jadi penggigit."

"Baru aku mau tanya hal yang sama ke kamu." katanya. "Tapi seingatku tak lebih dari lima menit. Aku melihat yang tergigit di leher, berubahnya cepat banget. Luka, berdarah, jatuh, nangis, kejang, terus tangannya kaya mau nyakar, mengerang deh."

Wina lalu mengeluarkan hape dari sakunya. "Aku sempat merekam kejadian di lantai satu dari ujung lantai dua." katanya sambil memberikan ponselnya.

Aku mengambil ponselnya dan melihat video yang sudah ia buka. Membuat aku tahu bahwa ponselnya ia tinggal di sela-sela pagar lantai dengan posisi menunduk. Video itu menunjukan kekisruhan pengunjung IKEA yang panik. Puncaknya saat seorang pengunjung menggigit pengunjung yang lain sampai jatuh berbaring. Lalu seorang lagi ikut menindih lalu menggigit hingga korbannya tak kuat melepaskan diri. Dua menit setelah itu, dua penggigitnya berhenti mengoyak. Korbannya tiba-tiba duduk dan mengerang. Para penggigit berhenti memangsa ketika korbannya telah berubah jadi penggigit juga.

"Kamu sempat nanya ke polisi atau tentara nggak?" tanyaku sambil mengembalikan ponsel Wina.

"Sempat." jawab Wina. "Tapi nggak ada yang jawab. Pada sibuk. Ada yang jawab 'nggak tau' katanya 'mungkin serangan senjata biologis'."

Entah kenapa jawaban itu mengingatkanku pada kata kebutuhan biologis. Kebutuhan yang belum jadi prioritasku, baik sebelum atau saat keadaan kacau seperti ini. Tapi sedikit banyaknya mulai terasa menyeruak, terutama karena hanya ada aku dan seorang lawan jenis di sini. Debar-debar rasa mulai menggelora saat aku menyadari bawah Wina punya paras jelita. Membuatku ingin bernyanyi sambil berdansa 'Ini kah namanya cinta? Oh inikah cinta? Cinta pada jumpa pertama.'. Aku sadar, rasa ini masih harus aku simpan sendiri, meski dalam hati merasa girang karena peluang besar mengakhiri kesendirian.

ZOMBLO APOCALYPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang