Perasaan lapar sangat wajar karena aku sudah duduk sesenggukan selama satu jam. Ini sudah waktunya makan siang. Suara perutku terdengar lebih nyaring dari biasanya, karena berada di ruang kecil dan kedap suara. Juga karena sisa bubur ayam sarapan tadi sudah habis diserap tubuh. Sebenarnya laparku sudah lama terasa, namun hilang ketika terjadi kekacauan barusan, dan sekarang terasa lagi.
Aku bangun untuk mengintip melalui bingkai kaca pintu kayu studio. Tidak ada siapa-siapa di ujung lorong timur. Entah kemana sosok satpam, gadis berambut panjang, dan sosok penggigit lainnya yang tadi ada di sana. Aku terus mengintip untuk tiga menit ke depan. Aku memang tak melihat satu sosok pun, tapi jelas aku mendengar erangan. Suara teriakan yang serak yang membuatku urung untuk keluar. Aku duduk lagi di balik pintu. Perlu waktu untuk berpikir. Benar-benar untuk berpikir. Bukan waktu berpikir yang padahal penolakan halus dari gadis-gadis yang pernah aku tembak.
Aku harus berpikir seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Aku harus ke studio-utama di samping ruangan ini. Karena di sana ada makanan property shoting hari pertama kemarin. Pecel ayam. Aku tahu pasti bahwa itu belum basi. Pecel ayam itu digoreng kering. Anak kosan sepertiku tahu benar umur hidangan. Tapi aku tidak boleh terlihat atau terdengar oleh para penggigit. Aku harus bergerak cepat dan senyap. Lebih cepat dan lebih senyap dari PDKT-nya Riki terhadap Ratri. Aku mulai membuat perhitungan.
Studio-utama terkunci. Dan kuncinya sudah aku pegang. Aku mengingat dulu kunci studio-audio yang gantungan berwarna merah. Berarti kunci studio-utama antara yang kuning atau biru. Aku pun hanya membawa dua kunci itu. Studio-utama ada di antara studio-audio tempatku berada dan studio-edting. Jadi, ketika sudah di depan studio-utama, aku tidak akan terlihat siapapun. Masalahnya, aku tak tahu apakah ada penggigit di lorong barat yang mungkin bisa memergokiku. Apalagi aku ingat, kalau pintu studio-utama berdecit saat dibuka atau ditutup.
Bila senyap sudah tak bisa, maka harapanku adalah cepat. Berharap kalau pun kepergok penggigit, mereka tak bisa menangkapku karena keburu masuk. Maka aku pun menghapal dulu semua rencana pergerakan revolusi ini sambil berlatih dengan gerakan: Bangun, putar kunci, buka pintu kayu, keluar, jalan cepat ke depan pintu studio-utama, tusuk lubang kunci, putar, cabut anak-kunci, buka pintu, masuk, tutup pintu, tusuk lubang kunci, putar, melangkah ke depan pintu lapis kedua, buka pintu berkarpet peredam, tutup pintu, lalu kunci.
Semua yang aku hapal sesuai dengan kenyataan. Ada sedikit kendala karena ternyata anak-kunci studio-utama adalah yang bergantungan biru, sedangkan aku menusuk dengan yang berwarna kuning lebih dulu. Namun itu membuatku tahu kalau yang biru adalah kunci studio-editing di sebelah barat. Selain itu, suara decitan pintu tidak berdampak signifikan, dengan bukti tak ada tanda-tanda pergerakan setelah suara itu terdengar. Kemungkinan lain, keberadaan penggigit cukup jauh dari sisi utara tempat jajaran studio berada. Sebuah keuntungan.
Sekarang, aroma pecel ayam menyelinap dari balik kemasan sterofoam dan terendus olehku. Sudah tidak menyengat seperti kemarin saat baru kami bawa dari kantin, tapi masih tetap lumayan karena studio yang tertutup rapat mengurung aromanya. Aku mengambil satu bungkus sebotol air mineral jatah konsumsi kelompok. Aku melahap makan siangku denga cepat. Satu bungkus pecel ayam sudah habis tanpa menyisakan selembar kulit pun. Tulang-belulangnya pun hanya tersisa bagian yang tak mungkin aku kunyah lagi.
Aku melirik lagi ke dus tempat tumpukan kemasan sterofoam pecel ayam. Sempat tergoda untuk untuk melahap bungkus kedua, tapi buru-buru aku bertobat. Aku sedang terjebak karena ancaman penggigit di luar sana, yang entah ada berapa, dan entah sampai kapan. Enam bungkus memang terlihat banyak. Tapi tidak untuk keadaan seperti ini. Aku pun langsung membuat hitung-hitungan. Enam bungkus untuk enam hari. Itu pun pasti mengalami pengurangan porsi karena nasinya akan basi dalam 2 hari. Hanya sepotong ayam dan tiga lembar kol dan dua iris timun yang semakin layu. Akan sulit jika harus menahan lapar setiap hari. Aku penganut makan 3x sehari. Aku bukan Intan dan Ratri yang sama-sama penganut tidak makan malam. Juga bukan Ratna yang makan 3x sehari tapi hanya 1x yang boleh pakai nasi. Aku bukan Riki yang bisa menahan lapar asal ada rokok. Bukan pula Alex yang ceking, yang sudah merasa cukup dengan makan 1x plus menggado buah. Bagiku, mereka semua tidak normal. Mereka tidak nasionalis. Bagiku, setidaknya, dua dari tiga waktu makanku haruslah pakai nasi. Untuk sarapan boleh lah hanya bubur. Asalkan lauknya lontong dan kerupuknya rangginang. Tapi setidaknya aku bukan Fandy yang makan bisa sampai 5x sehari. Masih bagusnya Fandy rutin olah raga catur, jadi badannya cuma gemuk, tak sampai gendut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZOMBLO APOCALYPSE
HumorHanya aku yang bertahan hidup di dalam kampus. Teman-temanku mati atau berubah jadi penggigit. Saat makanan di kampus habis, aku terpaksa keluar. Keadaan di luar sangat berbeda. Aku harus memastikan nasib keluargaku. Mungkin aku bukan satu-satunya p...