PANTULAN CAHAYA

10 3 0
                                    

O O O OOOOOOOoook!

Suara apa ayo?

Itu suara kokok ayam yang kami tak tahu di mana sumbernya. Sepertinya dari pemukiman belakang kampus. Suara yang sudah terdengar berkali-kali sejak masih gelap tadi. Suara yang cukup mengurangi rasa bosan kami karena semalaman mendengar suara erangan tak karuan. Aku kira pita suara mereka akan putus jika semalaman lagi seperti itu.

Gelap di langit di barat sudah tersapu bersama fajar yang berlalu. Saat ini sudah pagi. Aku lihat arloji. Sudah jam 06:30. Cahaya matahari dari timur mulai menyelinap dari celah-celah gedung tetangga dan rerimbunan pohon di ujung lapangan rumput. Sorot yang membuat sosok-sosok penggigit gerasak-gerusuk mencari tempat yang masih ternaungi bayangan. Beberapa dari mereka berteriak kesakitan ketika segaris radiasi matahari menyorot wajah dan kulit leher mereka. Sebagian melangkah mundur, sebagian melangkah cepat ke samping. Semua tak melepas pandanganya dari kami sebagai mangsa. Teriak kesakitan semakin sering karena semakin banyak anggota tubuh mereka yang terkena radiasi.

Aku dan Riki sudah sama-sama berdiri. Tidak adal lagi duduk giliran. Kami sudah menandai Ratri, Alex, Ratna, Fandy, dan Intan. Tiga pertama mundur ke teras depan pintu gedung utama, sementara Fandy ke pepohonan di sisi kiri dan Intan ke pepohonan di sisi kanan dekat lapangan rumput bersama sosok-sosok penggigit lain. Aku berjalan berkeliling di atas bak. Memastikan tidak ada penggigit tersisa di bawah.

"Aman!" ucapku. Riki langsung turun ke kabin, kemudian merambat turun lewa sisi kemudi. Aku melempar ransel dan senapan kepada Riki, lalu menyusul turun. Aku melakukan peregangan dulu karena merasa pegal-pegal berhubung banyak berdiri semalaman. Mata sudah sangat sepat, ingin tidur, tapi tahu bahwa Riki tak mungkin mau.

"Ratri dulu, Wen!" mohonnya.

Aku menggeleng. ""Sori, Ki, kita lakukan yang mudah dulu. Fandy dan Intan." kataku lalu mememanggul ransel.

Riki mengerutkan keningnya. "Ya elah, Wen, nanti aja lah Fandy Intan mah!" Nada suaranya meninggi. Terdengar jelas merasa kecewa.

"Lebih berguna kalau Fandy dan Intan sembuh duluan."

"Hah?" Riki tersentak. "Maksud lo apa Wen?"

"Ya,"

"Oh!" potong Riki sebelum aku sempat menjelaskan. "Elo nggak rela gue dapetin Ratri lagi?"

Giliran aku yang mengernyit. "Hah?"

"Elo cemburu, Wen, gue jadian sama Ratri?" gerutu Riki. Kalimat yang membuatku gusar.

"Wah, udah gila lo, Ki!" ujarku sambil berjalan ke belakang bak truk sambil memanggul ransel.

"Elo suka juga, kan, sama Ratri!" tunjuk Riki. Aku tak membalas kalimat menyebalkan itu. Hanya menahan umpatan. Aku membuka slot pintu bak, mengambil galah serokan panjang yang aku ambil dari pinggiran kolam kampus. Benda yang biasa digunakan petugas kebersihan kampus dalam membersihkan kolam kampus dari daun-daun yang jatuh.

"Elo nggak seneng gue jadian sama Ratri, Wen?" tanya Riki mendekatiku saat kembali ke depan truk.

Aku berhenti di depan Riki lalu menggelengkan kepala. "Coba elo liat Ratri!" tegasku. Riki menelan dulu ludahnya lalu berbalik badan, melihat ke arah teras, tempat Ratri berdiri di antara kerumunan penggigit. Ratri berdiri di baris belakang. Setelah melihatnya, Riki kembali melihatku, menunggu penjelasan. Aku melakukannya.

"Kalau kita langsung nyerok Ratri akan sulit. Terlalu banyak penggigit."

Riki merautkan keheranan. "Tapi kan sama-saja, sekarang atau nanti, tetap banyak penggigit di sekitarnya."

ZOMBLO APOCALYPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang