II - Dari Dompet Jatuh ke Hati

32.5K 3.8K 308
                                    

Aku, Tiara, Wulan, dan Shafira berkumpul membuat lingkaran kecil di pojok kelas. Dosen mata kuliah berikutnya belum datang, jadi kami masih punya kesempatan untuk mendiskusikan apa yang harus kami lakukan terhadap dompet warna hitam yang berada di tanganku ini.

"Buka nggak, nih?" tanyaku ragu.

"Buka, lah!"

"Tapi kalau ternyata isi dompetnya berkurang, terus kita yang dituduh ngambil isinya, gimana?" tanya Shafira. "Mending taruh di sekre BEM aja, lah. Biar mereka nanti yang umumin di OA BEM."

Benar juga. Lagipula, sekarang masih tanggal 23. Itu artinya aku harus bisa bertahan hidup dengan sisa uang saku yang semakin menipis sampai delapan hari ke depan. Amit-amit kalau nanti kami dituduh mengambil uang dalam dompet ini dan harus mengganti sejumlah uang yang hilang. Aku nggak mau makan indomie delapan hari berturut-turut.

"Aaah cupu!" seru Tiara begitu ia menangkap keraguanku dan Shafira. "Nggak bakal, dong. Justru dia senang karena ada yang balikin dompetnya ke dia. Kan yang paling penting itu kartu-kartu yang ada di dalamnya, bukan duitnya!"

Benar juga.

Akhirnya aku mengangguk, setuju dengan opini ngawur Tiara. "Ya udah, gue buka nih, ya?"

"Oke!"

Dengan berdebar, kubuka dompet itu. Deretan kartu yang pertama kali terlihat ketika akhirnya dompet itu terbuka.

"Wih, kartu debitnya pakai yang platinum plus," Tiara salah fokus.

"Emang apa bedanya sama punya kita-kita?"

"Ya beda. Platinum plus itu jenis kartu debit yang levelnya paling tinggi gitu."

"Oh..."

Mengabaikan komentar nggak berfaedah Tiara, aku langsung mengambil KTP yang ada di deretan kartu itu. Foto yang tertera di sana menandakan bahwa dompet itu memang milik Degan.

Bisa-bisanya ya dia kelihatan ganteng di foto KTP. Benar ternyata kata orang, seseorang kalau dari sananya sudah ganteng atau cantik mau diapain juga pasti tetap rupawan. Aku? Boro-boro bisa kelihatan cakep di foto KTP. Waktu mau foto KTP itu aku dapat antrian paling bontot, jadi waktu giliran fotoku tiba, minyak di wajahku sudah banjir dan membuat dahiku yang mengilap nggak bisa disembunyikan.

"Ternyata namanya Muhammad Zharfan, Cit," ujar Shafira.

"Subhanallah, namanya aja udah ganteng gitu ya..." gumamku.

"Orang Kulon Progo ternyata," ujar Wulan. "Pantas tadi dia ngomong bahasa Jawa lancar banget."

"Kelahiran April '97, Cit!" seru Tiara. "Harusnya dia jadi kating kita kan, ya?"

"Gap year kali?" Aku mulai sok tau. "Wah, suka nih gue tipe-tipe begini. Kayaknya dia orang yang nggak gampang menyerah gitu, deh. Sampai rela gap year demi bisa masuk FK PTN!"

"Yaelah, yang begitu mah banyak, kali!" Wulan langsung emosi. "Gue juga gap year demi masuk FK PTN, ya sayang aja gue kagak dapet kedokterannya, malah nyemplung di psikologi."

Aku menyengir melihat Wulan yang emosi. Di antara kami berempat, hanya aku yang sejak awal niat masuk psikologi. Shafira sebenarnya pengin masuk teknik mesin, sedangkan Wulan dan Tiara pengin masuk kedokteran. Nasib aja yang membuat mereka terlempar ke psikologi.

"Terus gimana dong nih nasib dompetnya?" tanyaku. Urusanku dengan dompet ini kan sudah selesai. Yang penting aku sudah tahu siapa nama panjangnya. Asalkan namanya sudah ketemu, nggak akan susah cari jejak dia di sosial media. "Kasih ke sekre BEM aja kali, ya?"

"Jangan lah, gila!" Tiara langsung ngegas. Dia berpikir sebentar sebelum melanjutkan, "gini aja. Wul, lo hubungin gih teman BEM lo yang anak PD, siapaaa gitu. Bilang gini: 'tolong bilangin ke temen lo yang namanya Muhammad Zharfan, dompetnya ada di teman gue', gitu. Terus lo kasih deh kontak LINE Citra."
(PD=Pendidikan Dokter)

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang