Setelah kencan pertama kami yang batal itu, aku jadi bingung harus bersikap seperti apa pada Nadhif. Jadi aku diam saja ketika kami berangkat bareng keesokan harinya. Aku tetap membalas seluruh pesan masuk dan menjawab telpon darinya, namun di dunia nyata, sebisa mungkin aku menghindarinya. Beberapa hari ini saja aku nebeng Tiara dan beralasan ingin mengerjakan kerja kelompok dulu supaya Nadhif nggak menjemputku di kosan. Alasan yang nggak masuk akal, dan aku yakin Nadhif juga nggak percaya dengan alasan basiku itu.
Sumpah, aku merasa nggak enak banget pada Nadhif yang masih saja baik padaku padahal aku sudah jahat padanya. Melihat wajah Nadhif membuatku seolah melihat dosa-dosaku padanya. Tapi mau gimana lagi, dong? Aku benar-benar nggak bisa berdua doang dengan Nadhif dalam jangka waktu yang lama! Apalagi kalau kita harus nonton!
"Ra, ntar temani gue ke ATM, dong. Mau nggak?" tanya Shafira ketika kami sedang menunggu dosen mata kuliah Filsafat Manusia datang.
Tiara mengangguk. "Gue juga mau ke ATM, kan. Nanti sekalian aja."
"Tapi bukannya lo kemarin baru ngambil duit, ya?" tanyaku heran. Shafira kan hemat banget orangnya. Aneh sekali jika dia tiba-tiba sering mengambil uang di ATM.
"Iya... Abis duit gue kemarin gara-gara jajan habis SBMPTN," ujar Shafira.
Aku mengerjap. Baru ingat kalau kemarin kedua temanku itu baru berjuang dalam tes yang diikuti oleh ribuan orang lainnya. "Oh my God!!! Iya, ya? Lo kemarin ikut SBMPTN!" seruku. "Gimana gimana? Susah nggak?"
"Yaaa soal SBM gimana sih," Shafira menyengir. "Doain aja, ya?"
"Pasti, lah!" seruku. Aku lalu beralih pada Tiara. "Lo gimana, Ra?"
Tiara mengedikkan bahunya. "Pasrah gue."
"OMG! GOOD LUCK, GUYS!" seruku heboh pada kedua temanku. Walaupun sebenarnya aku masih nggak habis pikir kenapa mereka nggak kapok-kapok berhadapan dengan soal yang susahnya nauzubillah itu.
"Lo juga good luck ya, Cit," ujar Tiara sambil menepuk-nepuk punggungku seolah iba dengan keadaanku.
Aku menatapnya bingung. "Maksudnya?"
Tiara mendekatkan kepalanya ke telingaku dan berbisik, "Di belakang, Nadhif lagi ngobrol sama teman-temannya. Tiap beberapa menit sekali dia lirik-lirik ke sini. Yakin sih gue dia pasti pengin tanya kenapa hari ini dan hari-hari kemarin lo nggak mau dijemput sama dia."
Aku menyandarkan tubuhku ke kursi. Terlalu lemas untuk sekadar berdiri tegak. "Mau gimana lagi, dong..."
"Lu sih aneh banget, kenapa pakai acara menghindar segala, sih?" Shafira ikut-ikutan.
"Awkward, kan udah gue bilang."
"Ya udah lo jadi diri lo sendiri aja, nggak usah jaim-jaim di depan Nadhif biar nggak awkward."
"Kalau di depan dia tuh gue nggak tau kenapa nggak bisa jadi diri gue sendiri, Raaa..." rengekku. "Nggak tau. Kayak otomatis aja gitu. Aneh banget nggak sih?"
"Ya lu jelasin kalau lu canggung sama dia," timpal Shafira. "Jangan pakai bohong-bohong segala, Cit. Kalau Nadhif beneran baik, dia pasti ngerti, kok."
"Nah," Tiara manggut-manggut setuju.
Mendengar teman-temanku ini entah kenapa membuatku merasa semakin buruk.
"Satu kebohongan itu bisa menambah ke kebohongan-kebohongan lainnya, lho," Shafira menakut-nakuti.
"Hubungan macam apa yang didasari dengan kebohongan, Cit?" Tiara ikut-ikutan. "Hubungan macam apaaa?!"
Aku memejamkan mata. Mendadak kepalaku terasa sakit. "Berisik, anjir!!!"
Kubuka kembali mataku. Aku justru mendapati seisi kelas sekarang sedang menghujaniku dengan tatapan ganas seolah ingin mengatakan 'Lo yang berisik kenapa lo yang teriak berisik?!'