XXXI - Can You Hear My Heart?

15.9K 2.3K 64
                                    

Tiara sudah menyambutku dengan senyuman lebar ketika aku datang pagi ini. Sebelah alisku terangkat. Nggak biasanya Tiara cengar-cengir begini?

"Kenapa lo?" tanyaku curiga.

"Nggak..." jawabnya, masih dengan senyum lebar yang terpasang di wajahnya. Ketika aku sudah duduk di kursi di sampingnya, tubuhnya mendekat padaku. Aku menghela napas. Thanks to ilmu psikologi ya, yang membuatku tahu bahwa gerakan tubuh mendekat pada sesuatu itu menunjukkan adanya ketertarikan. "Lo... Nggak ada yang pengin diceritain ke gue, Cit?"

"Apa?" tanyaku bingung.

"Kerja kelompok lo sama Nadhif. Kan dari kemarin lo belum cerita apa-apa..." katanya.

Ah, iya. Sejak kemarin, Tiara memang sudah ribut membombardir pertanyaan melalui pesan chat tentang apa yang terjadi padaku dan Nadhif. Tapi aku memutuskan untuk sok berahasia dan bilang padanya lebih seru kalau cerita secara langsung. Pantas pagi-pagi gini dia sudah girang.

Mengingat kejadian kemarin, aku jadi ikut-ikutan Tiara tersenyum-senyum nggak jelas seperti orang sinting. Sebenarnya sih sejak semalam aku sudah merasa kesulitan mengontrol bibirku sendiri agar tidak tersenyum. Kak Chyntia sampai curiga aku sudah nggak waras.

Haish. Benar-benar. Berurusan dengan Nadhif emang bikin nggak sehat! Kalau ada di dekat dia bisa berpotensi membuat jantungku kelelelahan karena terlalu sering dipacu. Tapi kalau orangnya nggak ada, ya kayak gini. Bisa berpotensi membuatku terkena halusinasi dan berakhir tersenyum-senyum sendiri.

"Jadi?" Mata Tiara membulat dan menatapku penuh semangat ketika aku tersenyum-senyum. "Ada kejadian menarik apa, Cit?"

Aku menceritakan kejadian kemarin pada Tiara. Semuanya. Mulai dari ketika dia nggak menghiraukanku, sampai ketika aku tersandung dan tau-tau Nadhif sudah bersiap di belakang untuk menumpu badanku agar tidak terjatuh.

"Gue tuh jatuhnya tiba-tiba banget, Ra. Tapi dia langsung aja gitu nangkap gue," aku menggebu-gebu. "Berarti dia udah lama merhatiin gue kan? Buktinya dia langsung sigap gitu nolongin gue!"

"Bisa jadi!" Tiara memekik girang. "Terus? Habis itu? Gimana?"

"Dia jalan terus, sih..." ujarku. "Sok-sokan nggak ada apa-apa gitu. Gue aja sampai nggak sempat bilang terima kasih."

"Yaaah," Tiara mendesah kecewa. "Kirain bakal ada yang seru gitu."

"Gue juga ngiranya bakal ada yang seru..." ujarku. "Tapi kalau dipikir-pikir dia tuh nyebelin nggak, sih? Sok keren! Masa mantannya abis jatoh, ditolongin, terus balik ngacangin lagi? Apaaa coba!"

"Itu namanya strategi tarik ulur tau, Cit..." katanya sok tau. "Jadi kadang dia dekat, kadang dia jauh. Ngerti nggak lo? Dia sengaja bikin lo bingung... Biar lo penasaran dan cari tau terus tentang dia!"

"Gitu?" tanyaku nggak yakin. Nadhif kayaknya bukan tipe cowok yang suka tarik ulur?

"Iya! Yakin..."

Kata-kata Tiara berhenti tepat ketika anak-anak yang tadinya berada di luar masuk ke dalam kelas.

"Dosennya udah datang?" tanyaku pada Vania yang berjalan melewatiku.

Vania mengangguk.

Kuedarkan mataku ke sekeliling. Geng cowok-cowok yang biasanya bersama Nadhif sudah duduk di depan.

Tapi Nadhif tidak ada di sana.

***

Sampai mata kuliah terakhir, Nadhif tetap nggak kelihatan. Teman-temannya nggak mengungkit tentang ketidakhadirannya hari ini, dan aku juga terlalu gengsi untuk sekadar bertanya. Dosen mata kuliah yang kami ikuti hari ini juga bukan tipe dosen yang suka mengabsen mahasiswanya satu per satu. Jadi tidak ada yang menanyakan alasan keabsenan Nadhif hari ini.

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang