"Coba sebutkan satu kata yang pertama kali Anda pikirkan untuk mendeskripsikan jodoh yang ideal untuk Anda kelak."
Aku menguap. Mata kuliah Psikologi Perkembangan selalu berhasil membuatku mengantuk. Kuperhatikan dosen yang sedang berbicara di depan tanpa benar-benar menyimak apa yang sedang beliau bicarakan, mencari waktu yang tepat untuk meletakkan kepalaku di atas meja tanpa ketahuan.
"Kalau lo apa, Cit?" Tiara berbisik di sampingku.
"Hah?"
"Apa yang lo pikirkan pertama kali waktu berpikir tentang jodoh yang ideal buat lo nanti?"
"Bersih," jawabku tanpa pikir panjang.
Tiara spontan tertawa. Teman-teman yang dekat denganku tahu banget betapa cintanya aku dengan kebersihan. Beberapa di antara mereka malah khawatir aku terkena OCD. Karena walaupun aku seringkali tak sempat belajar, tapi aku selalu menyempatkan diri untuk bersih-bersih. Apapun barangku yang bisa dibersihkan, pasti akan aku bersihkan. Aku selalu menyapu kamarku setiap kali ada rambut di lantai karena aku jijik melihat rambut yang berceceran (nggak peduli bahwa itu sebenarnya adalah rambutku sendiri), membersihkan kamar mandiku minimal dua hari sekali supaya aku nggak perlu berurusan dengan lantai yang mulai licin, dan rutin membersihkan kipas angin sebelum kipas anginku mulai berdebu.
Aku sangat amat mencintai kebersihan. Jadi wajar kan kalau aku menginginkan seseorang yang bersih untuk menjadi jodohku kelak?
"Kenapa ketawa, sih?" tanyaku, tak mengerti di mana letak lucunya.
"Orang tuh ya, pasti jawabnya pengin dapet jodoh yang sholeh, bertanggung jawab, baik, tekun, atau apa kek gitu. Lo malah jawabnya 'bersih'," ujar Tiara. "Kalau lo dapat cowok yang bersih tapi nggak bertanggung jawab, gimana?"
"Ya cari yang bertanggung jawab dong," sahutku.
"Kalau bersih, bertanggung jawab, tapi nggak sholeh?"
"Ya cari yang sholeh juga lah," ujarku.
"Mending mana, bersih atau bertanggung jawab?"
"Dua-duanya dong."
Tiara memutar mata. "Penting banget ya kebersihan?"
Aku mengangguk. "Emang muluk-muluk banget ya permintaan gue? Gue tuh cuma minta bersih. Nggak ganteng juga nggak papa — ya walaupun gue sih tetap berharap dapat yang ganteng ya — tapi the most important thing tuh ya, dia kudu bersih. Dan nggak bau badan!"
"Nggak muluk-muluk sih sebenarnya, Cit. Cuma gue nggak bisa paham aja ketika lo menempatkan syarat kebersihan di atas tanggung jawab."
Aku mengedikkan bahu.
"Tapi emang sih... Lo tuh emang cocok sama yang bersih. Bayangin deh kalau cowok lo ntar jorok. Lo pasti stres karena cowok lo jorok, dan cowok lo pasti juga stres karena nggak bisa ngikutin standar kebersihan lo yang tinggi banget itu!"
"Nah kaaan? Paham kan lo sekarang dengan cara berpikir gueee?"
"Yaaa walaupun nggak paham-paham banget sih," ujar Tiara. "Kalau di angkatan kita... Menurut lo siapa cowok yang paling bersih?"
"Heh?" Otakku cepat memikirkan cowok-cowok di angkatan kami. Di program studi psikologi ini, jumlah cowoknya jauh lebih sedikit daripada jumlah ceweknya. Jumlah cowok di angkatan kami aja cuma lima belas dari total seratus dua puluh mahasiswa. Makanya begitu Tiara bertanya, otakku dapat dengan cepat mengabsen cowok-cowok yang ada di angkatan kami.
"Nggak ada," jawabku cepat. "Atau mungkin ada, tapi gue nggak tau. Sejauh ini sih gue nggak nemu ya."
"Yang mendekatiii aja," desak Tiara. "Masa nggak ada yang mendekati? Si Fahri anak kelas C itu, masa menurut lo nggak bersih?"