Ketika aku membuka mata, aroma khas rumah sakit langsung menabrak indera penciumanku. Kepalaku terasa pusing — jenis pusing yang selalu kurasakan tiap kali aku kebanyakan tidur. Tangan kiriku terasa kebas, dan ketika aku menoleh, tangan kiriku sudah terbalut gips.
Ah, iya. Aku pasti terbangun di sini, di kamar rumah sakit ini, karena kejadian semalam. Aku mengalami kecelakaan yang membuatku akhirnya diantar oleh mas-mas ganteng tak dikenal menuju rumah sakit, sampai akhirnya Nadhif datang dan mengatakan kata-kata yang membuatku pusing karena otakku tak cukup pandai untuk menerjemahkan maksudnya.
Mengingat kata-kata itu membuatku jadi tak yakin apakah seharusnya aku merasa senang atau sedih karena fungsi memori dalam kognitifku masih berfungsi dengan baik. Sedikit sisi gila diriku berharap bahwa seharusnya aku menderita amnesia sementara saja — atau setidaknya ingatanku mengenai kata-kata ambigu Nadhif itu dihilangkan supaya aku tak perlu repot-repot lagi memikirkan maknanya. Tapi nyatanya tidak.
Aku bahkan masih bisa mengingat setiap detail yang terjadi setelah itu. Nadhif yang hanya menatapku lama, dan aku yang hanya bisa balas menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Maksud pertanyaannya tuh... Nembak bukan, sih? Itu Nadhif nembak aku kan, ya? Apa aku yang salah menginterpretasikan kata-katanya? Namun ketika aku menyerah dan ingin bertanya saja karena takut kepedean jika buru-buru menafsirkan kata-katanya, seorang suster lebih dulu mendatangi kami dan mengatakan bahwa hasil rontgen sudah selesai. Setelah itu, Nadhif langsung mengikuti suster tersebut dan kembali dengan kabar bahwa tulang di pergelangan tangan kiriku retak sehingga harus dioperasi. Mendengar informasi dari Nadhif itu lantas membuatku panik, Nadhif jadi sibuk menenangkanku, sehingga kata-katanya sebelum itu menjadi terlupakan begitu saja. Tanpa ada kejelasan.
Baguslah. Aku juga nggak tahu harus menanggapi pertanyaan Nadhif dengan bagaimana.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Nadhif muncul dari sana, dan langsung tersenyum begitu kami bersitatap.
"Eh, udah bangun," sapanya dengan suara bass-nya yang khas. "Gue baru aja beli bubur ayam di depan. Kirain lo masih lama bangunnya, jadi gue beli satu doang buat gue sendiri."
"Gue nggak suka bubur ayam, kok. Sans."
"Gitu?" alis Nadhif terangkat satu. "Alhamdulillah, satu lagi pengetahuan gue tentang lo ya, Cit."
"Apa banget dah, Dhif," timpalku sok-sok biasa aja. Apaaa coba maksudnya ngomong begitu? Emang kalau pengetahuannya tentang aku bertambah, ada untungnya buat dia? Kalau iya, untung dari mananya, coba? Hiiih, dasar Nadhif nggak jelas!
Kuperhatikan Nadhif yang sedang meletakkan kresek putih di atas meja, lalu berjalan mendekatiku.
"Apa?" tanyaku, penasaran dengan apa yang akan dia lakukan di dekatku.
"Tuh," Nadhif menunjuk bel yang ada di sampingku. "Mau panggil suster. Lo kan baru aja sadar dari pengaruh anastesi."
"Ohhh..." aku manggut-manggut.
Kirain mau ngapain...
Seorang suster datang tak lama setelah Nadhif memencet bel. Suster itu lantas memeriksa keadaanku dan menanyakan beberapa hal padaku. Lucky me, suster bilang kondisiku baik-baik saja, dan kalau keadaan ini terus bertahan, aku bisa segera pulang.
"Lo kok nggak kuliah, Dhif?" tanyaku setelah suster itu keluar kamar. Aku baru sadar kalau seharusnya, Nadhif kan kuliah. Dan presentasi... O-M-G! Presentasi kelompok kami! Kasihan banget Nada kalau harus presentasi sendirian karena aku dan Nadhif tak masuk kuliah hari ini... "Kelompok kita harus presentasi kan hari ini?"
Dari meja tempatnya memakan bubur ayam, Nadhif menoleh. "Kalau gue kuliah, siapa yang jagain lo di sini?"
"Terus presentasinya gimana?"