XX - Nanti Itu Kapan?

15.8K 2.5K 244
                                    

Jangan dibaca waktu lagi makan yaaa :))))

***

Pintu kamar perawatanku tiba-tiba terbuka. Tiara muncul dari sana, disusul dengan Shafira dan Wulan di belakangnya. Ketiganya langsung berlari mendekat ke atas ranjangku begitu melihatku tergeletak di atasnya.

"Citraaa, lo nggak apa-apa?" tanya Tiara. Sorot matanya khawatir. Dia langsung memeluk tubuhku. Matanya lalu mengerjap ketika menyadari gips yang membalut tangan kiriku. "Gila... Sampai digips gini, Cit?"

Aku mengangguk.

"Untung tangan kiri yang kena," ujar Shafira yang mengekor di belakang Tiara. "Ribet pasti nanti kalau tangan kanan yang kena," tambahnya, mencoba untuk berpikiran positif.

Aku mengangguk. "Iya. Alhamdulillah, deh."

"Eh tapi kalau tangan kiri lo yang kena... Gimana dong caranya lo cebok, Cit?" tanya Wulan sama sekali nggak berfaedah.

Aku heran kenapa Wulan terlalu kritis sampai bisa kepikiran tentang pertanyaan yang sama sekali tak muncul dalam pikiranku. Sekilas memang kelihatan nggak berfaedah - helo, ngapain banget gitu lho dia mikirin gimana caranya aku cebok dengan satu tangan begini - tapi pertanyaan Wulan itu mengganjal juga di pikiranku. Aku sama sekali belum buang air besar sejak aku dioperasi, dan kata dokter, gips ini kira-kira akan terpasang di tanganku selama satu bulan lamanya. Nggak mungkin kan kalau satu bulan full aku harus cebok pakai... Tangan kanan?!

"Gue belum boker lagi abis gue dioperasi, Lan," jawabku. "Tapi iya juga, ya. Gue jadi kepikiran. Kalau gitu caranya, berarti gue harus cebok pakai tangan kanan, dong?!"

"Ya mau gimana lagi, Cit. Masa lo mau minta tolong orang lain buat nyebokin lo?" timpal Wulan.

"Tapi kan jijik... Tangan kanan tuh kehidupan gue, tau nggak. Buat makan, minum, motong buah..."

"Ya udah, lo nggak usah cebok kalau gitu. Lo semprotin aja air dari bidet keras-keras ke bekas boker lo. Ntar juga bokernya rontok sendiri," usul Tiara.

"Idih... Jangan-jangan selama ini lo kayak gitu, ya?!" tuduhku.

"Ya nggak, lah! Gue kan cuma kasih usul!" Tiara membela diri. "Daripada lo nggak doyan makan sebulan cuma gara-gara harus cebok pakai tangan kanan... Kan nggak mungkin juga kalau lo minta tolong orang lain buat cebokin lo!"

Duh, ribet deh, ribet! Aku benar-benar tak menyangka kehilangan tangan kiri - walaupun sebenarnya nggak benar-benar hilang, sih - bisa membuat dampak yang luar biasa bagi hidupku. Baru kusadari kalau hal sesepele dan sesederhana cebok itu ternyata sangat berguna dan berjasa bagi kelangsungan hidup seluruh umat manusia sepertiku.

"Eeeh, ada Nadhif ternyata," Wulan terlihat kaget ketika dia menyapa Nadhif yang sejak tadi duduk di kursi tamu. "Sejak kapan sih lo duduk di situ? Kok gue dari tadi nggak lihat?"

"Dari tadi aku di sini, kok," jawab Nadhif kalem.

Telingaku terasa geli ketika mendengar kata 'aku' yang terlontar dari mulut Nadhif. Kayak sok lembut gitu, lho!

"Demi apa sih lo dari tadi di sini?" Tiara nggak percaya.

"Iya. Kalian aja yang keburu keasyikan ngomongin cebok sampai nggak sadar aku ada di sini."

"HAAAH?!" Aku langsung histeris. "LO DENGAR SEMUANYA?!"

Habis, deh. Habis sudah imej baikku di hadapan Nadhif.

"Hadehhh, nggak usah teriak juga kali, Cit. Berisik," ujar Nadhif, terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya dengan suaraku yang stereo. "Suara kalian kenceng banget. Nggak mungkin lah gue nggak dengar."

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang