Nadhif datang.
Aku yakin aku tak sedang bermimpi ketika melihat sosok laki-laki dengan tubuh tinggi tegap mendatangi ranjang tempat aku sedang berbaring. Langkahnya terburu-buru dan sorot matanya tampak khawatir. Ketika akhirnya mata itu bertatapan dengan mataku, sudut bibirnya terangkat.
Nadhif tersenyum. Tapi entah kenapa senyum itu justru membuat mataku terasa panas.
Lo beneran datang, Dhif.
"Gimana, Cit? Lo udah nggak kenapa-kenapa, kan?"
Aku mengangguk. Lalu menggeleng. Lalu mengangguk lagi.
Tawa Nadhif sontak tersembur begitu ia melihat tingkahku, membuatku mau tak mau ikut tertawa juga. Cowok itu lalu mengambil kursi kosong dan meletakkannya di samping ranjangku, lantas duduk di sana. "Kok malah ngangguk-geleng-ngangguk-geleng, sih?"
"Yaaa gue bingung harus jawab gimana, Dhif. Lo nanyanya 'lo udah nggak kenapa-kenapa kan, Cit?' Kalau gue nggak kenapa-kenapa ya gue nggak bakal di sini, Dhif!"
"Iyaaa, tau, Citra. Susah ya ngomong sama lo. Protes mulu."
"Itu namanya kritis, tau."
"Hm." Nadhif mengangguk. "Iyain aja deh, biar seneng."
Aku tertawa. Tapi dia tak ikut tertawa.
"Serius, Cit. Gimana tadi kata dokter?"
"Tadi gue baru dirontgen. Ini lagi nunggu hasilnya," jawabku. "Doain aja lah biar nggak kenapa-kenapa."
"Aamiin. Tapi ini lo ngerasanya gimana? Sakitnya sebelah mana aja?"
"Nggak tau. Ini sekujur tubuh gue rasanya nyut-nyutan semua, Dhif."
"Nyokap bokap lo udah lo telpon?" tanya Nadhif.
Aku menggeleng, dalam hati memaki diriku sendiri. Saking paniknya, aku sampai tak kepikiran untuk menghubungi orang-orang, terutama kedua orang tuaku. Argh. Tentu saja. Kedua orang tuaku, seharusnya mereka sudah kuhubungi dari tadi. Bagaimana aku bisa lupa?
"Lo tuh..." Nadhif mulai menggunakan nada khasnya ketika ia akan mengomel, namun tak lama kemudian ia terdiam lagi. Cowok itu lalu menarik napas panjang seolah ingin menenangkan dirinya sendiri. "Lain kali, Citra, kalau ada kejadian gini lagi, lo nggak boleh panik. Hal pertama yang harus lo lakuin adalah, lo harus ngehubungin orang-orang yang dekat sama lo. Tiara, Wulan, Shafira. Telpon gue juga nggak apa-apa. Terus baru, orang tua lo, jangan lupa dihubungin juga. Kalau tadi gue nggak nelpon lo duluan juga lo nggak bakal nelpon siapa-siapa, kan?"
Jika biasanya aku akan membalas nasihat panjang lebarnya dengan komentar-komentar nyolot tanda aku tak mau mendengar nasihatnya, kali ini, aku hanya bisa terdiam dan mengamini kata-katanya dalam hati. Ya. Harus kuakui, Nadhif memang benar. Sudah seharusnya aku tetap mengedepankan akal sehatku di saat-saat panik seperti ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi, cowok itu mengambil ponselku di atas meja dan menyerahkannya kepadaku.
"Nih, telpon orang tua lo."
Aku mengangguk patuh, dan langsung memencet kontak Mama yang terletak pada deretan kontak favoritku. Hanya butuh sekitar tiga dering telpon sampai telpon itu terangkat.
"Assalamualaikum. Kenapa, Kak? Tumben Kakak telpon malam-malam?"
"Waalaikumussalam Mah..." jawabku. Sedetik kemudian, baru kusadari bahwa berita dariku ini pasti akan membuatnya khawatir setengah mati. Mendadak, aku jadi ragu.
Kulirik Nadhif yang ternyata sedang menatapku. Cowok itu menaikkan satu alisnya ketika tatapan kami bertemu, seolah mengatakan: "Apaan?"
"Kalau gue kasih tau nyokap gue... Dia pasti bakal kepikiran deh, Dhif," bisikku pelan.