XXI - Klarifikasi

16.1K 2.4K 123
                                    

Himpunan Mahasiswa Teknik Arsitektur: Maaf Mbak, tp kami hanya bisa share acara/lomba yg berkaitan dgn prodi kami. Terima kasih.

Aku menghela napas sebal. Sudah lima hari sejak aku keluar dari rumah sakit, Mama sudah pulang ke Bekasi karena masih ada adikku yang harus diurus di rumah. Aku juga sudah kembali ke rutinitasku seperti biasa, walaupun sebelah tanganku masih harus dipasangi gips.

Kemarin, aku mencoba untuk mengirimkan pesan kepada seluruh official account himpunan dan BEM fakultas yang ada di kampusku untuk bertanya mengenai prosedur untuk menyebarkan acara yang diadakan oleh Psyfest di official account mereka. Acara yang akan kusebar posternya adalah lomba esai untuk seluruh kalangan mahasiswa, alias tidak terbatas dari program studi psikologi saja, dengan tema strategi diri menghadapi stress. Salah banget sebenarnya kalau si admin OA himpunan mahasiswa arsitektur itu bilang sama sekali tidak berkaitan. Psikologi kan, mempelajari tentang manusia dan perilakunya. Berarti setiap ada manusia, selalu ada ilmu psikologi yang diterapkan di dalamnya. Iya, kan?! Apa aku yang sok tau???

"Kenapa lu?" tanya Wulan ketika dia baru saja selesai jajan di kajur.

Aku menggeleng. Lalu memperlihatkan pesan dari OA himpunan mahasiswa teknik arsitektur yang baru saja kubaca.

"Jarang yang bersedia buat ngeshare lomba kita, Lan," ujarku. "Katanya soalnya kagak ada hubungannya sama prodi mereka."

"Yah, emang susah, sih..." Wulan ikut-ikutan lemas. "Padahal sama arsitektur kan sebenarnya bisa disambung-sambungin aja, ya. Dia bisa aja tuh bikin tentang strategi diri menghadapi stress dari perspektif arsitektur. Di psikologi sosial yang materi tentang aplikasinya dalam lingkungan aja sempat disinggung keterkaitan antara psikologi dan bangunan, kan."

"Hm," Aku mengangguk setuju. "Tau nggak sih, ini gue udah ditolak sama tiga prodi FT."

"Pfft..." Tiara yang baru datang bersama Shafira ikutan nimbrung. "Lo baru sama OA aja ditolak, Cit. Apalagi sama anak tekniknya..."

"Kampret!"

Ketiga temanku cekikikan mendengar penghinaan Tiara.

"Pait, pait..." ujar Shafira.

"Eh, tapi Citra mah nggak masalah ya kalau ditolak anak teknik," ujar Wulan. "Kan udah punya anak psikologi..."

"Heh???"

"Oh, iya!"

"Maksudnya?" Aku berlagak bego.

"Alah, nggak usah  sok-sok nggak tau lah, Cit. Gua tau lu cuma pura-pura," ujar Tiara. Cewek itu lalu menoleh ke arah pintu di mana Nadhif dan teman-temannya baru saja masuk.

Aku punya firasat nggak enak tentang ini.

"Iya kan, Dhif?"

Tuh, kan!

Nadhif yang baru datang sudah ditanya begitu langsung mengubah ekspresinya menjadi perpaduan antara kaget, bingung, bego, cengo, dan... Gemas.

Ups.

"Apaan?"

"Udah, bilang aja 'iya'!" seru Tiara.

Nadhif menggeleng. "Nggak mau."

Kuperhatikan Nadhif yang sedang meletakkan tasnya di samping teman-temannya. Cowok itu lalu kembali berjalan lagi... Mendekati kami.

Ngapain lagi, sih???

Cowok itu lalu menatapku. "Lo kenapa, Cit?"

"Gue?" Aku menunjuk diriku sendiri, kaget tiba-tiba ditanya begitu. "Nggak... Nggak kenapa-kenapa. Kenapa emang?"

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang