Setelah narasumber di depan selesai menerangkan berbagai macam informasi mengenai Kawan Skizofrenia, kami dipersilakan untuk memesan makanan yang ada di kafe ini.
Coba tebak rezeki nomplok apa yang kudapat hari ini? Aku semeja dengan Zharfan! Lagi! Untuk yang kedua kali! Setting-an tempat duduk ini asli dibuat oleh kakak-kakak volunteer Kawan Skizofrenia, jadi ini murni karena keberuntunganku, bukan karena aku sengaja ingin duduk semeja dengannya.
Tiara sudah senyam-senyum di sampingku. Tapi kali ini dia nggak bacot seperti biasa. Tiara itu memang tipe-tipe orang yang senangnya bekerja di balik layar. Dia memilih untuk nggak terlihat ketika 'pertunjukan' sedang berlangsung, walaupun aku tahu otaknya sekarang pasti sudah riweh memikirkan berbagai macam skenario.
"Kamu... Citra bukan, sih?" tanya Zharfan ketika dia menyadari wajahku yang tak asing.
ZHARFAN MASIH MENGINGATKU! Mengharukan sekali.
"Betul. Kamu..." Aku menghentikan kalimatku, sok-sok nggak ingat dengan dia. Padahal sebenarnya dalam hati sudah deg-degan duluan. "Uhm... yang waktu itu dompetnya ketinggalan di kantin bukan?"
"Betul!" Zharfan tersenyum. Manis banget, semanis es krim Aice rasa cokelat yang biasanya kubeli di kantin FK. "Zharfan."
"Ah, iya... Zharfan." Sekarang aku pura-pura baru ingat. "Kenalin nih, temanku. Namanya Tiara. Anak psikologi juga nih, Fan."
Zharfan beralih pada Tiara, lalu mengatupkan kedua tangannya di depan dada sebagai isyarat bersalaman tanpa menyentuh tangan. Yang nggak mau salaman dengan lawan jenis gini nih, yang imamable banget! Sayang aja yang model begini pasti nggak level sama pacar-pacaran. Ugh, fix, Zharfan ini beda level banget denganku yang pecicilan!
"Dari prodi mana, Fan?" tanya Tiara, pura-pura nggak tahu juga.
"Aku dari kedokteran."
"Wih... Keren, keren!"
"Ini Zharfan yang waktu itu dompetnya kita temukan di kantin lho, Ra!" ujarku, masih bersandiwara.
"Oh... Yang itu? Iya, iya. Gue ingat!" ujar Tiara. "Kok bisa waktu itu dompetnya jatuh sih, Fan?"
"Nggak tau. Waktu itu aku lagi buru-buru kayaknya," jawab Zharfan. "Makasih banyak lho. Aku udah bingung nggak tau mau cari ke mana waktu itu. Untung ada kalian."
"Yaaa kebetulan aja sih itu kita yang nemu, Fan," ujarku, mencoba berbicara sekasual mungkin. Dia nggak tau aja tragedi pengembalian dompet itu adalah hasil konspirasi teman-temanku!
Tiara sepertinya ingin menanggapi, tapi suara musik yang tiba-tiba terdengar langsung membuatnya kembali mengatupkan mulutnya.
Sayang... opo kowe krungu jerite atiku,
Mengharap engkau kembali
Sayang... nganti memutih rambutku
Ra bakal luntur tresnaku...Aku dan Tiara spontan bertatapan.
Di depan kami, Zharfan sibuk mengambil ponsel dalam sakunya. Lagu barusan itu memang nada dering ponsel Zharfan!
"Aku permisi sebentar, ya?" izinnya setelah berhasil mengambil ponsel dari saku, lalu segera berlalu, menjauh dari kami.
Meninggalkan aku dan Tiara yang masih bengong. Begitu dia pergi, Tiara langsung menutup mulutnya, menahan diri agar nggak sampai tertawa ngakak.
Selera musik cowok itu... unexpected banget! Aku nggak ada masalah sama sekali sih dengan cowok penyuka tembang jawa. Hanya saja... Itu berarti selera musik kita berbeda seratus delapan puluh derajat.
Makin susah aja celahnya untuk mendekati Zharfan!
***
"Teman-teman... Ada yang mau nonton acaranya anak FEB nggak? Harganya lima puluh ribu loooh," Gia, salah satu teman sekelasku, bertanya dengan lantang di depan kelas.