XVI - Jadi, Mau Pilih yang Mana?

16.1K 2.4K 76
                                    

"Pagi, Citra..."

Suara ngebass yang sangat kukenal  menyapaku ketika aku masuk ke dalam kelas. Ketika aku menoleh, pemilik suara itu langsung menyunggingkan senyum padaku. Nadhif. Melihat senyum itu, aku buru-buru melengos, nggak sudi membalas senyumnya!

Sebenarnya senyumnya manis, sih. Parah. Tapi sori-sori aja, aku nggak bisa disogok pakai senyuman! Setelah tega membiarkanku menunggu selama satu setengah jam, salah banget kalau dia mengira aku akan memaafkannya begitu saja!

"Cit..."

Nadhif mengikuti ketika aku meletakkan tas  di kursi samping Tiara. Tiara -- yang tentunya sudah kucurhati panjang lebar mengenai insiden kemarin -- malah senyam-senyum penuh arti melihat Nadhif yang masih mengekoriku. Tapi ketimbang ikut campur, cewek itu memilih diam dan meneruskan kegiatannya bermain ponsel.

Ketika aku duduk, Nadhif ikut-ikutan duduk di sampingku. Aku pura-pura bermain ponsel, mencoba nggak menggubris kehadiran Nadhif yang sejujurnya sangat amat mengganggu.

Tiga menit. Lima menit. Tujuh menit.

Nadhif masih betah duduk di sampingku.

Gerah sendiri, akhirnya aku melirik ke arahnya. Mulutku sudah membuka, siap untuk mengomel, tapi sialnya, tatapan kami keburu bertubrukan. Mulutku otomatis terkatup lagi.

Sejak kapan dia menatapku seintens itu???!!!

"Lo... Ngapain, sih?!" tanyaku gemas. Alih-alih emosi, sekarang justru salah tingkah yang mendominasiku.

Haduuuh. Fokus, Cit. Fokus. Jangan malah kesemsem! Kalau niat marah, marah sekalian! Murah banget lo kalau langsung kesemsem cuma gara-gara diliatin Nadhif doang!!! Aku mencoba menyugesti pikiranku.

"Duduk."

"Kursi lo kan di depan???"

"Di sini, kok," Nadhif menjawab datar. Datar, secara intonasi dan ekspresi. Aku heran kenapa dia masih bisa memasang ekspresi datar seperti itu.

"Tas lo kan di depan?"

"Ya kan itu tas gue. Yang penting orangnya ada di sini."

Gusti Allah... Annoying banget sih ini orang???!!!

"Di sini udah ada orang!"

"Siapa?"

"Shafira sama Wulan, lah. Pakai nanya, lagi."

"Pakai urat, lagi," sahut Nadhif, mengikuti nada yang kugunakan pada kalimat terakhirku.

"Apa?"

"Enggak..." Cowok itu geleng-geleng kepala.

Aku menarik napas panjang. "Lo kenapa, sih?"

"Soal yang kemarin... Masih marah, ya?"

"Ya menurut lo???!!!" sahutku cepat. "Satu setengah jam lho gue nunggu. Satu setengah jam!"

"Sori banget, Cit. Sumpah gue nggak tahu kalau ternyata chat gue belum kekirim. Soalnya gue langsung rapat, nggak ngecek-ngecek HP lagi. Lo kan tahu gue orangnya wifi only... Terus kemarin ternyata wifi di basement lagi nggak bagus gitu... Makanya chat gue nggak kekirim."

"Oh... Jadi yang salah wifi basement, dong ya? Emang sih, wifi basement tuh ngeselin banget! Dia nggak tahu apa kalau ada orang-orang yang butuh banget sama wifi?! Sampai ada orang yang chat-nya nggak kekirim kan... Padahal itu penting banget," aku mulai nynyir. "Yaaa walaupun sebenernya orang itu bisa ngecek lagi sih, itu chat-nya kekirim atau nggak. Atau kalau misalnya mepet banget, bener-bener nggak ada wifi... Orang itu kan juga bisa minta tolong chat lewat HP temen, kan, ya?"

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang