Nadhif tuh ya... Paling jago mengubah suasana yang tadinya biasa saja menjadi canggung.
Setelah berbagai macam drama yang akhirnya membawaku ke kamarnya sekarang ini, bisa-bisanya tiba-tiba dia bilang kangen padaku?! Tanpa memberi tanda sebelumnya kalau dia akan mengatakan hal yang berpotensi membuatku terkena serangan jantung.
Aku sudah freeze, nggak tau harus menjawab apa untuk menanggapi kata-katanya itu. Beruntung, setelah itu ponselku tiba-tiba berdering. Telepon masuk dari tukang ojek online untuk mengonfirmasi pesananku.
Aku bersumpah akan memberikan tip pada beliau atas jasanya menyelamatkanku dari kecanggungan ini.
"Abang ojek?" tanya Nadhif basa-basi ketika aku menutup telepon. Jelas basa-basi, karena jelas-jelas tadi aku mengatakan 'sesuai di aplikasi, ya, Pak...', default answer-ku tiap kali ditelpon tukang ojek online.
"Iya... Bapaknya lagi pesenin pesanan lo," jawabku tak kalah garing.
"Sori ya, Cit," kata Nadhif. Tiba-tiba out of topic.
"Hah?" Aku tak mengerti. "Sori kenapa?"
"Sori... Tadi tiba-tiba bilang kangen."
Aduh duh duhhh. Ya udah sih, kan udah terlanjur juga??? Kenapa dia malah meminta maaf dan membuat semuanya semakin jelas? Kalau kayak gini kan aku jadi bingung lagi harus merespon apa!
Tapi sebelum otakku mampu memikirkan jawaban teraman, Nadhif lebih dulu berkata, "Lo nggak tau gimana leganya gue tadi waktu gue bangun dan ngelihat lo, di depan gue, lagi ngelihatin gue pakai ekspresi khawatir..."
Itu gue ngelihatin lo pakai ekspresi khawatir soalnya gue khawatir lo bangun, Dhif... batinku dalam hati. Tapi aku tidak mau merusak suasana, jadi kata-kata itu kutelan lagi.
Nadhif tersenyum tipis. "Udah lama, ya, sejak terakhir kali kita ngomong berdua gini, Cit?"
"Ya lo kemarin waktu kita kunjungan ke penitipan anak ngacangin gue..."
"Gue nggak ngacangin, Cit," kata Nadhif. "Dari kemarin gue pengin ngomong kayak gini sama lo, berdua aja, tapi kayaknya lo selalu sama teman-teman lo. Begitu kemarin ada kesempatan, gue malah bingung harus ngomong apa. Takut kalau salah ngomong lo malah makin jauh dari gue..."
"Wah, boleh nggak gue ngerasa hebat karena berhasil bikin Nadhif yang public speaking-nya jago dan diakui di mana-mana itu mendadak bingung harus ngomong apa?" tanyaku, berusaha melemparkan candaan. Padahal di dalam jantungku sudah berdetak nggak karuan. "Tapi... Emang lo mau ngomong apa sama gue sebenarnya, Dhif?"
"Banyak."
"Banyak?" ulangku.
"Waktu kita pacaran itu... Lo ngerasa nggak nyaman, ya? Sampai lo kabur mulu kalau gue ajakin jalan-jalan?" tanya Nadhif.
Aku mengangguk ragu-ragu. "Gue tuh baru pertama kali pacaran, Dhif. Jadi kalau lo mendadak antar-jemput gue, senyum manis banget ke gue, pakein gue helm... Bahkan simple thing kayak panggilan aku-kamu aja rasanya aneh banget buat gue...," jelasku. Seperti ada beban yang terangkat dari dadaku ketika aku mengatakan hal yang selama ini menjadi uneg-unegku. "Sori. Kayaknya gue anaknya kalau pacaran emang nggak bisa diromantisin gitu deh, Dhif."
Nadhif terkekeh. Dia menatapku dengan sorot lembut. "Maaf, ya. Udah bikin lo nggak nyaman."
Cheesy banget nggak sih kalau aku bilang sebenarnya Nadhif tuh nggak sepenuhnya bikin aku nggak nyaman? Kalau sebenarnya dia tuh bisa bikin aku nyaman dan nggak nyaman di saat yang bersamaan?
"Tapi gue... Emang gini, Cit. Gue nggak bisa nahan untuk nggak melakukan sesuatu yang pengin gue lakuin, atau nggak bilang apa yang pengin gue utarain," katanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once In A While
Novela JuvenilDrama kehidupan mahasiswi psikologi semester muda.