XXV - Yang Ditunggu

15.8K 2.7K 361
                                    

Ini sudah hari kedua sejak aku memutuskan untuk memutus tali silaturrahim dengan Nadhif. Sumpah, rasanya nggak enak banget. Bukan nggak enak karena aku jadi nggak ngobrol lagi dengan Nadhif, tapi lebih karena... Perang dingin seperti ini sama sekali bukan gayaku. Biasanya, aku lebih memilih untuk diam dan bersikap biasa-biasa saja sampai menemukan waktu yang pas untuk mengemukakan uneg-uneg-ku. Tapi dengan Nadhif, aku merasa aku harus melakukan sesuatu yang berbeda. Karena aku sendiri tak tahu perasaan macam apa yang dimiliki Nadhif untukku.

Aku yakin Nadhif pasti sadar dengan perubahanku ini. Aku sudah melakukan jurus diamku ini padanya beberapa kali. Ketika dia menyapa, aku hanya akan tersenyum singkat dan segera berlalu. Ketika dia mengajakku mengobrol, aku akan menjawab sekadarnya dan nggak membiarkan dia memperluas obrolan. Chat yang dia kirimkan kepadaku pun hanya kubalas dengan kata 'ya' atau 'gak'. Kadang malah nggak kubalas. Jadi nggak mungkin kalau Nadhif nggak sadar.

Sungguh, butuh usaha yang tak sedikit untuk benar-benar menjauhi Nadhif. Antara hati dan otakku... Seringkali berjalan secara berlawanan. Rasanya hatiku sedih setiap kali aku mendapati tatapan bingung Nadhif ketika aku melengos dan mengacuhkan sapaannya. Tapi demi harkat dan martabatku sebagai perempuan, apa yang aku lakukan ini sudah benar, kan? Aku nggak mungkin terus menerus membiarkan Nadhif seenaknya mempermainkan aku. Aku nggak bisa terus membiarkannya mengatakan kalimat-kalimat non sense yang bisa menyebabkan gelenyar halus di hatiku ketika dia juga mengatakan kata-kata itu pada perempuan lain.

"Nadhif kayak gitu tuh bercanda doang kali, Cit..." Wulan berusaha berpikiran positif. Aku nggak tahu kalimat itu memang jujur dari dalam hatinya atau dia hanya berusaha untuk membuat hatiku tenang. "Vania kan dekat juga sama gengnya Nadhif. Jadi wajar aja kali kalau mereka ngomongnya gitu."

"Lagian kan si Nadhif cuma ngomong doang ke Vania, Cit," ujar Tiara. "Ngomong doang mah nggak ada apa-apanya... Lu kan udah dibersihin muntannya, dibeliin minyak kayu putih, ditemenin di rumah sakit. Gue yakin tuh Vania nggak pernah digituin juga sama si Nadhif!"

"Omongan tuh nggak bisa dianggap sepele tau, Ra. Gara-gara omongan doang, yang tadinya suami istri bisa seketika berubah statusnya, gitu juga sebaliknya," ujarku. "Dulu kan yang pertama kali ngebaperin gue juga omongan dia! Nah, kalau Vania-nya baper, gimana?"

"Vania nggak baper, kali," timpal Shafira. "Kan waktu itu dia udah klarifikasi."

"Ya kan kita nggak tau si Vania itu jujur apa enggak, Shaf!"

Aku melirik meja tempat Nadhif dan teman-teman segengnya yang sedang menyantap makan siang. Ada Azkia, Ella, dan... Vania. Ck! Aku tahu geng mereka tuh sering banget bareng. Di kantin semeja bareng, ngerjain tugas kuliah bareng, belum lagi tugas organisasi yang mungkin mereka lakukan bersama-sama karena mereka berdua sama-sama merupakan anggota himpunan.

"Duh, klarifikasi aja kenapa, sih?" ujar Shafira. "Kan enak. Langsung clear masalahnya. Nggak usah cupang-cupang lagi."

Aku berdecak. "Gue kan udah pernah tanya langsung ke dia tentang maksud kebaikannya dia selama ini tuh apa... Biar clear. Tapi nggak dijawab tuh sama dia!"

"Ya daripada lu kayak gini, Cit. Di depan orangnya sok-sok melengos, tapi di belakang lirak-lirik mulu."

Aku berdecak — lagi. Fine. Aku akan membuktikan pada teman-temanku kalau setelah ini, aku nggak akan lirik-lirik Nadhif lagi. Tapi sebelum itu...

Lirik sekali lagi boleh, kan? Hehehe.

Aku ingin memastikan untuk yang terakhir kalinya apakah Nadhif dan Vania...

Shiiitttt.

Kenapa sih Nadhif harus lihat ke sini juga?!

Aku buru-buru mengalihkan pandanganku kembali ke piring ayam geprek yang sedang kumakan.

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang