XXIII - Pikir Sendiri!

16.1K 2.5K 202
                                    

"Kuy, Shaf. Kuyyy!!!"

Sebelah alisku terangkat mendengar suara Tiara yang menggebu-gebu. Tumben amat dia sudah ramai sepagi ini. Biasanya pagi-pagi begini ketiga temanku itu akan lebih memilih untuk duduk anteng seraya menyantap nasi bungkus tiga ribuan dari kantin kejujuran.

"Ada apa sih?" tanyaku tak mau ketinggalan. Kuletakkan tasku di kursi samping Tiara dan Wulan. "Kuy ke mana?"

"Itu loh..." jawab Wulan sambil mengunyah nasi terinya. "SBMPTN."

"SBMPTN?" beoku.

"Iya. Pendaftarannya udah dibuka dari kemarin," jawab Tiara. "Lo mau ikutan juga nggak, Cit?"

Aku menggeleng, lalu menghela napas. Dasar Tiara dan ambisi kedokterannya yang sepertinya tak akan pernah padam.

Yah... Sebenarnya aku dulu juga sempat punya ambisi untuk masuk prodi kedokteran, sih. Nggak tau, ya, tapi lihat dokter dengan jas rapi itu kayak... Keren aja. Apalagi dengan profesi dokter itu aku bisa membantu banyak orang. Tapi setelah aku nyemplung ke dunia perkuliahan dan melihat sendiri perjuangan teman-temanku di prodi kedokteran yang dikejar banyak sekali ujian, rasanya aku nggak akan sanggup melalui semuanya. Belajar psikologi faal aja repotnya setengah mati! Selain itu, aku percaya pasti ada alasan kenapa aku bisa masuk ke psikologi. Aku juga nggak mau mengerjakan sesuatu dengan setengah-setengah. Ibaratnya aku ini sudah terlanjur basah, berenang saja sekalian sekalian bersenang-senang! Toh tidak harus menjadi seorang dokter untuk bisa membantu orang lain.
(Psikologi Faal = gabungan antara ilmu psikologi dan fisiologi, biasanya yang ngajar dosen2 kedokteran. Kalau di kurikulum baru namanya biopsychology, CMIIW)

"Yahhh..." Tiara langsung kecewa. "Coba-coba aja, Cit. Gue juga ini nyoba doang, kagak belajar. Kalau dapet ya alhamdulillah, kalau nggak dapet ya nggak apa-apa, toh nggak ada effort juga."

"Nggak, ah. Kayak gitu tuh nggak boleh coba-coba, tau," ujarku, menyadur nasihat Mama dulu ketika aku bercerita pada beliau tentang keinginan Tiara untuk mencari peruntungan melalui SBMPTN. "Lo bayangin aja, kursi kita ini direbutin sama banyak orang, Ra. Terus begitu lo dapet, lo lepas gitu aja. Bayangin perasaan orang-orang yang nggak dapet kursi itu."

"Iya, sih..." Tiara menarik napas. "Tapi gue kan coba-coba doang, Cit. Lagian kemungkinan gue masuk tuh nol koma nol nol nol sekian persen, alias hampir nggak mungkin."

"Sayang banget sumpah duit lo kalau lo lo cuma iseng doang."

"Jadi dokter itu udah cita-cita gue dari lama banget," ujar Tiara. "Ya emang sih, gue tau diri juga gue nggak bakal dapetin itu. Gue bego gini orangnya. Satu-satunya yang bisa gue andalkan cuma luck. Tapi nggak salah kan kalau gue mau coba? Gue cuma... Ngerasa bingung aja sama bidang ilmu psikologi ini, Cit. Kayak nggak gue banget. Gue selama ini terbiasa mikir logis, kayak matematika atau kimia yang beneran ada, yang kalau lo salah tuh langsung ketahuan karena jawabannya pasti. Tapi psikologi itu... Lo bahkan nggak tau 'jiwa' yang lo pelajarin itu bentuknya seperti apa. Abstrak, Cit. Gue... Bingung."

Aku mendadak terdiam mendengar penuturan Tiara. Ini seperti dia mengungkapkan unek-unek yang dia pendam selama ini.

"Lo juga, mau ikut SBMPTN lagi, Shaf?" tanyaku pada Shafira.

"Nggak tau. Galau gue," jawabnya.

"Kenapa?"

"Gue... Gue juga merasa kayak bidang ini tuh bukan gue banget. Psikologi kan ilmu yang berkaitan sama manusia. Lo harus ketemu sama banyak orang. Tapi lo tau sendiri kan gue paling nggak suka berurusan sama orang yang nggak gue kenal," jelas Shafira panjang lebar. "Mungkin bisa kalau gue tetap menekuni bidang ini. Tapi itu berarti usaha gue harus lebih dari usaha kalian supaya hasil yang gue dapat bisa setara sama kalian."

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang