Rasanya aku ingin sekali bolos kuliah hari ini.
Aku benar-benar tak sanggup jika harus bertemu Nadhif setelah kejadian malam itu. Ugh... Belum bertemu dengannya saja, aku sudah bisa membayangkan bagaimana senyum meremehkannya yang membuat aku seketika merasa seperti orang paling tolol sedunia.
Seperti senyum yang ia berikan padaku ketika aku kedapatan bolak-balik di depan kosnya malam itu.
"Kalian ngapain sih emang bolak-balik di depan kosan gue?" tanya Nadhif ketika kami sedang duduk di salah satu warung angkringan dekat kosnya.
Iya, akhirnya kami makan bareng malam itu. Nadhif yang mengajak karena katanya bersama-sama lebih baik daripada sendiri, sementara otakku terlalu beku untuk bisa sekadar menolak tawarannya. Shafira tak menolak karena pada dasarnya dia suka ikut-ikutan saja, sementara Tiara yang tadi kabur duluan langsung cabut pulang karena terlalu malu untuk bertemu Nadhif.
"Gue... Kepo aja sama kosan lo," jawabku akhirnya, memilih jujur. Percuma saja berbohong, toh sudah ketahuan.
"Terus kenapa tadi lo bohong?" tanya Nadhif seraya meletakkan tusukan bekas sate kerangnya di piring kosong untuk sampah. "Pakai ngaku-ngaku mau ke kos teman lo segala, lagi."
"Ya gue bingung lah tadi tiba-tiba lu nongol dari pintu. Gue jawab aja sesuai sama apa yang tadi kepikiran di otak gue."
"Terus jawaban yang ada di otak lo itu bertolak belakang sama fakta yang sebenarnya?" tanya Nadhif. Bibirnya terangkat setengah, membentuk senyuman khas 'Nadhif banget' yang benar-benar kubenci. "Berarti perilaku nggak jujur itu udah merasuk ke alam bawah sadar lo ya, Cit? Hati-hati, lho. Susah diubah kalau udah masuk ke alam bawah sadar gitu."
"Ya namanya aja orang lagi panik!" sahutku kesal, tak terima dianggap sebagai tukang bohong oleh cowok itu. "Wajar kali kalau gue langsung jawab aja sama apa yang kepikiran di otak gue!"
"Ya itu berarti di bawah alam bawah sadar, kan?"
"Bawah sadar itu berarti... Teori Freud... Unsconcious, kan ya? Berarti kebohongan Citra tadi masuknya apa? Insting atau nafsu?" Shafira yang sejak tadi diam saja kini ikut nimbrung.
"Insting untuk membela diri dari pertanyaan-pertanyaan gue, lah. Jelas."
Ini... Kok jadi nyambungnya ke teori Freud, ya? Sudah cukup lah aku mendapatkan teori ini di mata kuliah Psikologi Kepribadian tiga SKS beberapa waktu lalu. Nggak perlu ditambah-tambahi lagi dengan diskusi nggak penting Nadhif dan Shafira!
"Jatuhnya defense mechanism, dong? Apa bukan? Citra kayak denial gitu nggak sih ini?" tanya Shafira seolah-olah aku sedang tak ada di sana.
"Ja..." "Stop, woy, stop!" potongku, sebelum mereka berdiskusi lebih panjang lagi. "Cukup deh tentang Freud. Jangan bikin malam minggu gue surem gara-gara keingetan nilai kepribadian gue, dong!"
"Yaaa harusnya ini malah jadi ajang buat lo untuk semakin termotivasi, Cit. Makin niat kuliahnya, belajar sungguh-sungguh... Bukannya malah iseng cari kosan orang lain padahal sebenarnya banyak banget kegiatan bermanfaat lainnya yang bisa lo lakuin."
Mengingat nyinyirannya malam itu, badanku lemas lagi. Kali ini perpaduan antara lemas dan sakit perut. Sungguh aku tak bisa bertemu dengan Nadhif lagi tanpa menghilangkan bayangan mengenai betapa menyebalkan kata-katanya malam itu.
***
Pada akhirnya, aku tetap kuliah juga, walaupun aku sebenarnya memiliki dua alasan untuk tak masuk sekolah: menghindari Nadhif dan sakit perut. Dan meskipun tadi aku sempat berkata bahwa aku tak mau bertemu Nadhif, tetap saja sosok cowok itu yang pertama kali kucari ketika aku masuk ruang kelas. Aku tak tahu sejak kapan mataku otomatis mencari Nadhif tiap kali aku masuk ke dalam kelas. Namun yang pasti, tiap kali aku berhasil menemukan sosoknya, mataku secara otomatis berhenti mencari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once In A While
Novela JuvenilDrama kehidupan mahasiswi psikologi semester muda.