"Tadi soal yang nomor enam lo bisa, nggak?"
Hah! Mulai lagi, deh. Selesai ujian, rasanya aku nggak akan pernah bebas dari pertanyaan-pertanyaan teman-temanku. Nggak bisa apa ya, setiap orang itu diam dan mengerti tentang konsep datang-kerjakan-lupakan?
"Gimana, Cit? Bisa nggak tadi?" tanya Shafira.
"Lumayan lah," jawabku. Setidaknya, kali ini lebih baik daripada mata kuliah Psikologi Kepribadian kemarin. "Bisa dua soal."
Shafira geleng-geleng mendengar jawabanku. Sudah tidak kaget lagi. Mungkin Shafira sudah lelah mengingatkan aku betapa pentingnya belajar sebelum ujian.
Mau bagaimana lagi, dong? Semalam aku sudah berniat untuk belajar, tapi malah ada film bagus di TV. Confessions of A Shopaholic, film keluaran 2009 yang diperankan oleh Isla Fisher dan Hugh Dancy. Aku selalu suka film itu. Aku merasa sangat relate dengan Rebecca Bloomwood, pemeran utamanya yang gila belanja. Bukan, bukannya aku gila belanja. Tapi aku suka belanja. Dan ngomong-ngomong, siapa sih yang nggak suka belanja? Iya, kan? Jadilah semalam aku lebih memilih untuk menonton film itu dibanding membaca buku Kode Etik Psikologi. Ketika filmnya selesai, jam dinding kamar kosku menunjukkan pukul setengah dua belas. Aku sudah terlalu mengantuk untuk sekadar membuka buku, jadi aku memilih untuk langsung tidur.
"Mau jajan di kajur, nggak? Lapar banget gue," ajak Tiara.
(Kajur = kantin kejujuran)Aku menggeleng. Entah kenapa, mengingat ujian tadi membuatku malas untuk jajan. Makannya sih nggak malas. Berdesak-desakan dengan orang banyak demi membeli makanan, itu yang malas.
"Gue nitip aja, deh. Mau air mineral, tahu bakso dua, sama bakso bakar tiga, ya?"
"Buset, banyak!" ujar Wulan.
"Ikut turun aja, sih, beli bareng-bareng," imbuh Shafira.
"Nggak, ah. Pusing gue," ujarku, lalu menyerahkan uang dua puluh ribuan pada Tiara. "Nitip ya, Ra?"
Tiara manggut-manggut sebelum mengajak Shafira dan Wulan untuk buru-buru pergi ke kajur sebelum makanan di sana habis. Sementara mereka keluar, aku memilih untuk kembali duduk di kursiku. Mata kuliah berikutnya tempatnya sama dengan mata kuliah barusan, jadi kami tak perlu berpindah ruangan.
Aku menghela napas. Kenapa sih selalu begini? Padahal kemarin aku sudah bertekad untuk belajar, tapi tekadku itu selalu saja luntur karena hal-hal yang sebenarnya nggak penting-penting banget. Cuma demi nonton film! Ugh! Padahal kalau dipikir-pikir lagi, film itu juga sudah berkali-kali aku tonton. Aku juga sudah punya file-nya di laptop, bisa kuputar berulang-ulang kalau aku memang mau. Tapi kenapa semalam aku lebih memilih untuk menonton film Confessions of A Shopaholic daripada membaca buku Kode Etik Psikologi, sih?!
Aku sudah ingin meletakkan kepalaku di atas meja supaya ingatan tentang ujian tadi hilang, tapi layar ponselku tiba-tiba menyala. Telpon dari Mama. Duh, Mama pasti ingin menanyakan hasil ujianku barusan.
"Hai, Mam," sapaku setelah telponnya tersambung.
"Kakak gimana ujiannya tadi?"
"Hehehe." Aku memilih jawaban yang paling aman. "Yaaa gitu deh."
"Kok ketawa?"
"Yaaa gitu lah pokoknya, Mam. Nanti kita lihat aja hasilnya gimana, ya," ujarku.
Terdengar helaan napas Mama di seberang sana. Sama seperti Shafira, sepertinya Mama juga sudah pasrah denganku.
Orang-orang di sekitarku mungkin menganggap aku ini nggak peduli dengan nilai akademik mengingat aku jarang sekali serius terhadap ujian. Persentase kehadiranku dalam mengikuti perkuliahan memang jauh lebih besar daripada jumlah minimum kehadiran, namun semua orang tahu bahwa aku seringkali tak memperhatikan dosen ketika kuliah serta ketiduran semalam sebelum ujian. Tapi di balik itu semua, aku sebenarnya peduli. Aku selalu sedih tiap kali Mama menelpon di saat-saat seperti ini. Rasanya aku seperti sedang mengkhianati kepercayaan kedua orang tuaku. Mereka sudah susah payah mencari uang di Bekasi untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami, tapi aku yang tinggal menikmati fasilitas malah begini-begini saja dan tak ada progress yang berarti.