XXXII - Just A Little Bit Longer

17.7K 2.6K 208
                                    

Sejak aku masuk SMP, Mama selalu mewanti-wanti agar aku fokus menuntut ilmu dan jangan cari pacar dulu. Nanti saja pacarannya kalau sudah lulus kuliah dan bekerja. Awalnya aku pikir nasihat Mama itu karena Mama tak ingin aku kebablasan saja. Tapi ternyata, baru semalam kusadari, nasihat Mama itu sebenarnya sangat berguna. Karena ternyata kalau kita punya pacar - atau dalam kasusku, mantan yang masih kusuka - kita nggak bakal bisa fokus belajar. Pasti pikiran kita terbagi-bagi. Karena pada dasarnya, kita nggak akan mendapatkan sesuatu ketika kita nggak kehilangan sesuatu.

Seperti yang terjadi padaku semalam. Semalaman aku nggak bisa tidur karena pikiranku terpecah-pecah antara tugas yang belum selesai dan Nadhif yang nggak masuk karena sakit. Sampai jam dua belas malam aku masih diam di depan laptop yang layarnya kosong karena belum kusentuh. Sepanjang diam di depan laptop seperti orang tolol itu, berkali-kali aku mengetikkan pesan untuk menanyakan kabar Nadhif. Tapi berkali-kali juga pesan itu kuhapus. Pada akhirnya, aku tidak jadi mengirimkan pesan itu. Dan bisa ditebak, tugas mata kuliah Kode Etik Psikologi yang deadline-nya hari ini baru mulai kukerjakan ketika jam dinding kamar sudah menunjukkan pukul satu pagi, dengan sisa-sisa tenaga terbuang sia-sia karena sejak tadi kuhabiskan untuk memikirkan apakah seharusnya aku mengirim pesan untuk Nadhif atau tidak.

Ujung-ujungnya, sama seperti setiap pagi yang kulewati ketika malamnya aku tak bisa tidur karena kepikiran Nadhif, aku masuk kelas dengan tingkat kesadaran yang setengah-setengah. Rasanya aku sedang berhalusinasi ketika melihat Tiara tersenyum dan menyapaku. Apalagi ketika kulihat Nadhif berjalan memasuki kelas, dengan muka lesu dan rambut acak-acakan khasnya jika dia tidak pulang seharian karena sibuk menjadi budak proker.

Halu nih pasti gue... Masih pagi, masa rambut Nadhif udah acak-acakan aja?

"Nadhif, tuh." Tiara menyenggol pundakku.

Aku menoleh padanya, kaget. "Lo... Lihat juga, Ra?"

"Hah?" Tiara balas menatapku bingung. "Lihat apa?"

"Itu... Nadhif," jawabku. Aku mengedikkan kepalaku pada bayangan Nadhif yang kini sedang duduk dan meletakkan kepalanya di atas meja. "Lo lihat dia juga?"

"Menurut looo?!" tanya Tiara gemas.

"Beneran ada Nadhif di situ?" tanyaku memastikan sekali lagi. "Kirain gue halu..."

"Geblek!" Tiara spontan tertawa ngakak. "Lu kalau halu beneran berarti ada tanda skizofren, bego!"

"Makanya... Gue udah takut aja. Pusing banget kepala gue soalnya. Kurang tidur."

"Lah? Lo emang semalam tidur jam berapa?"

"Jam dua."

"Ngapain amat tidur jam dua?!" tanya Tiara kaget. "Gue aja semalam jam dua belas udah tepar."

"Ngerjain tugas, lah."

"Tugas apaan, dah?" tanya Tiara. "Tugasnya cuma Kode Etik doang, kan?"

"Iya... Gue baru ngerjain jam satu soalnya."

"Haaah?" Intonasi Tiara kian meninggi. "Lo semalam ngapain aja emang sampai baru ngerjain tugas jam satu?"

"Biasa..." jawabku, malas menjelaskan alasan yang sebenarnya pada Tiara. Kalau Tiara tahu semalam aku sibuk memikirkan nasib Nadhif yang sedang sakit dan galau apakah seharusnya aku menanyakan kabarnya atau tidak, temanku itu pasti akan meledekku habis-habisan. Jadi sebaiknya aku tidak usah memberitahunya saja. "Tapi syukur deh hari ini dia udah masuk lagi."

"Nadhif, maksud lo?" semprot Tiara langsung.

"Iya."

"Tapi dia masih lemes gitu nggak, sih?" tanya Tiara. "Gue tadi pas lihat dia masuk kelas kayak kasihan gitu, deh... Mana masuk-masuk langsung naroh kepalanya di atas meja, lagi," lanjutnya. Tiara lalu menoleh padaku. "Kemarin lo jadi nge-chat dia nggak, sih?"

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang