Agak ambigu. Ternyata susah pakai sudut pandang laki-laki, maaf ya kalo mengecewakan.
Pagi-pagi sekali aku sudah mendapat kabar dari polisi tentang mobilku. Dugaan Haifa tidak melenceng, ada seseorang yang memotong tali remnya. Aku salut pada gadis itu. Setelah keluar dari mobil, dia langsung berjongkok mengecek kolong mobilku. Aksi Haifa sedikit dikacaukan oleh Farsya yang tiba-tiba bertanya, "Haifa nyari apa?"
"Kabel rem?" perempuan itu tetap fokus pada sesuatu yang dicarinya.
Sementara Alfea melayani pertanyaan para warga, Farsya mewawancara pacarku, "Selang rem maksudnya?"
"Tali rem?" timbunku.
Haifa berdiri berkacak pinggang, "Apa aja kek! Intinya itu kan?"
"Di kap, Fa. Ngapain nyari di kolong?" Farsya memang senang ilmu otomotif, mempelajari mesin-mesinan. Bahkan dia berniat masuk Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB. Mesin motor sudah dia khatamkan termasuk teknik balapannya. Mesin mobil sedang dia garap sedikit demi sedikit, tapi tidak termasuk lancar menyetirnya. Kaki Farsya masih sering puyeng membedakan yang mana pedal kopling, rem, atau gas.
Berbeda dengan Farsya, aku lancar memakai motor maupun mobil, tapi tidak sedikit pun mengerti tentang mesin-mesinnya. Lagi pula buat apa? Toh sudah ada banyak bengkel.
"Kap depan kan mentok ke pohon, susah bukanya." Haifa berjalan mendekati kap mesin mobil di depan.
Farsya yang entah dengan cara apa bisa dengan mudah membuka kap mobil itu, "Oh, ya?" dia meledek pacarku.
"Waw! Ternyata lo berguna juga." Sambil mengangguk-ngangguk, Haifa mulai melihat isi kapnya.
"Enak aja! Asal lo tahu ya, di rumah, gue sering bantuin abang jaga bengkel. Dan di sekolah, gue adalah wakil ketua osis yang paling bisa diandalkan! Jadi gue lebih banyak berguna dibanding elu, anak baru yang songong! Iye kan, Dar? Lu ngapain sih mau sama dia?!" Farsya adalah cerminan pacarnya, sering pidato.
"Lo gak tahu aja," aku menepuk pundak Farsya, "Lo bukan bisa diandalkan, tapi bisa gue manfaatkan, hahahaa.." aku yakin Haifa tidak mendengar pidatonya Farsya, jadi laki-laki itu harus bersyukur karena kutanggapi. Setidaknya, dia tidak merasa bicara sendiri, kan?
"Sialan lo, gak ada bedanya sama pacar lo!" Farsya menepis tanganku yang masih hinggap di pundaknya, "Emang lu tahu letak tali rem dimana? Gue aja masih bingung." Pacarnya Alfea itu menghampiri Haifa.
"Kalo ada tali yang putus berarti itu tali rem." Haifa menjawab.
"Gimana kalo bukan?"
"Farkha-,"
"Farsya! Nama gue." Potong yang merasa namanya salah disebut.
"Iya itu pokoknya. Lagian kenapa mirip, sih?! Merepotkan!" jangankan Haifa, aku saja masih sering tertukar kalau memanggil nama beberapa anak Far, meski wajah mereka bertujuh sama sekali tidak ada mirip-miripnya.
"Gak cuma ada dua yang mirip, tapi ada tujuh." Farsya menginformasikan.
"Tuh kan, bener! Cairan di tabung remnya habis," sekali lagi kuberi tahu, Haifa tidak akan peduli pada informasi yang menurutnya tidak penting.
Tak lama kemudian polisi datang disusul oleh Mang Wian. Beberapa orang menyarankan agar kami pergi ke rumah sakit, tapi tidak satu pun dari kami yang merasa perlu melakukan hal itu. Jadi setelah ditanya-tanya polisi, kami diantar pulang oleh Mang Wian ke rumah masing-masing.
Pagi ini sebelum berangkat sekolah, rumahku didatangi polisi, menginformasikan bahwa memang ada orang yang sengaja memotong tali rem mobilku. Ibuku jelas saja langsung melotot dan marah kepadaku.
YOU ARE READING
Puisi Terkutuk
Mystery / ThrillerKepindahan Haifa membawa bencana. Beberapa anak sastra terluka, bahkan satu orang meregang nyawa di depan mata gadis itu. Gara-gara puisi kutukan dari Jepang yang ia bacakan, keselamatannya pun jadi terancam. "I'm here. And I'll be here whenever you...