Aku tidak tahu ada apa dengan hari ini. Kejadian yang tidak hanya membuat Talita kesakitan tapi juga membuatku sulit untuk lepas dari tatapan-tatapan mengintimidasi.
Drettt..
Drettt..
Aku bisa mendengar gemuruh dengungan di meja yang bertempelkan sebelah telingaku. Ponselku yang juga tergeletak di atas meja sedikit bergeser-geser.
Drettt..
Drettt..
Melihat ponselku yang tak berhenti bergetar kuputuskan untuk mengambilnya. Tertera 2 pesan masuk melalui aplikasi WhastApp.
Alfea Diniya
Fa, ke kantin yuk!
Tanpa membuka pesannya aku sudah bisa membacanya. Jempolku beralih pada pesan lain di bawahnya.
+628xxxxxxxxx
Temui aku di ruang osis ya Haifa.
Aku bisa melihat foto kecil di sebelahnya. Kubuka pesan kedua dan kuklik nomor ponsel di atas sehingga menampilkan sebuah profil dengan foto seorang laki-laki tegap sedang berdiri melipat tangan, mengenakan seragam SMA dan almamater OSIS.
Oke, Risyad memang keren, tampan, dan menurutku fotogenik, cocok sekali menjadi model gadis sampul, eh, dia kan laki-laki. Tidak ingin lebih lama memandanginya, aku memencet option back.
'Lo ngasih nomor gue ke Risyad?' Aku mengirim pesan itu pada Alfea.
'Hehe, sorry gak izin dulu.' Alfea membalas. 'Fa gue di kantin, sini dong!' dia menambah kirimannya.
'Read aja nih?' yang itu dari Risyad.
Aku memasukkan ponselku ke saku baju. Masih duduk, aku kembali menenggelamkan wajahku pada tangan yang terlipat di atas meja.
Baru saja aku selesai bertanya pada lima orang teman sekelasku yang tadi pagi ditunjuk Farid sebagai orang-orang pertama menghampiri Talita. Aku tahu laki-laki kelas dua belas itu namanya Farid karena terdapat name tag di bajunya.
Aku tidak menyimpan curiga pada kelima temanku. Pasalnya, aku menanyai mereka satu-persatu tanpa ada yang tahu. Bahkan mereka berlima pun tidak menyadari kalau satu-persatu temannya sedang kucuri untuk diwawancarai. Sejauh ini tidak ada yang mengganjal dari mereka, jawaban mereka berlima sinkron-sinkron saja.
Mereka sedang sarapan di kantin, ada Farid juga, duduk dengan meja terpisah, tentunya. Saat terdengar suara sesuatu yang jatuh, mereka tidak berpikir apa-apa karena suaranya tidak terlalu keras. Tidak ada teriakkan minta tolong maupun jerit kesakitan, jadi mereka melanjutkan aktivitas makannya.
Farid selesai dan keluar dari kantin lebih dulu saat itu, tapi tidak berjauhan dengan kelima temanku, sehingga gerak-geriknya tidak luput dari perhatian kelima temanku. Farid berhenti saat menemukan Talita, dia langsung menghampiri orang yang berada di sekitar situ.
Farid menggiring kelima temanku untuk memastikan yang dilihatnya tidak salah, "Ada orang terbaring, itu beneran orang, kan?" dari jarak yang tidak cukup dekat, Farid menunjuk-nunjuk ke arah Talita.
"Iya itu Kak Talita!" Difa teman sekelasku yang juga anak sastra pertama kali mengenalinya.
"Kalian tunggu di sini saya panggilin guru!" kepala Farid sepertinya sering terbentur, jadi otaknya agak geser. Laki-laki itu entah memanggil guru entah memanggil neneknya guru. Saat Farid melesat berlari, Difa mengejarnya dan melihat Farid berlari ke lantai tiga, ke sarang kelas dua belas, mungkin ke kelasnya. Padahal ada Pak Danar di lantai satu, sedang mengajar di kelas sepuluh. Difa akhirnya memanggil Pak Danar dan sekalian memberi kabar ke kelas kami. Kata mereka luka bakar Talita sudah ada sejak awal mereka menemukannya.
YOU ARE READING
Puisi Terkutuk
Mystery / ThrillerKepindahan Haifa membawa bencana. Beberapa anak sastra terluka, bahkan satu orang meregang nyawa di depan mata gadis itu. Gara-gara puisi kutukan dari Jepang yang ia bacakan, keselamatannya pun jadi terancam. "I'm here. And I'll be here whenever you...