20 : HAIDAR

165 9 53
                                    

MALAM ini, kami bekerja sama dengan polisi. Lalu, ada hal-hal yang membuat segalanya menjadi semakin runyam. Seperti, tidak diizinkannya kami untuk terlibat dalam pencarian Haifa. Prosedur penggeledahan yang cukup panjang, serta berbagai tetek-bengek lainnya yang membuatku memutuskan untuk berangkat sendiri ke mansion itu.

Pukul sepuluh malam, dua jam lagi hari berganti. Dalam sisa waktu 120 menit ini, aku berharap tidak ada hal buruk apa pun terjadi. Setelah 7200 detik kemudian terlewati, aku memohon dengan sungguh yang paling serius, pada-Mu, agar tidak mendapat kabar menyakitkan apa pun.

Kali ini saja, bolehkan isi doaku memaksa. Izinkan isi asaku mengatur. Perkenankan segala pintaku terkabul, untuk satu hamba-Mu itu. Aku mencintainya, tidak peduli bagaimana ke depannya, saat ini, aku hanya menginginkan keselamatannya.

Kakiku tidak beralih dari pedal paling kanan, kuinjak semakin dalam, membuat laju kendaraan bertambah cepat. Jalanan masih ramai, kupasang mata awas terhadap kendaraan lain yang perlu kulewati. Ketika tiba di jalan yang sepi, kaki kananku tidak segan menginjak penuh pedal gas di bawah sana.

Ban mobil tiba-tiba berdecit, menciptakan goresan hitam di atas aspal, membuat tubuhku sedikit terpelanting ke depan tatkala pedal rem dan kopling kuinjak bersamaan. “Sial!” desisku.

Sebuah sedan hitam menyalip dan berhenti melintang di depan mobilku. Aku menunggu sampai seseorang keluar dari sana.

Farsya yang pertama kali membuka pintu kemudi, berbalik kemudian berjalan menuju mobilku. Langkahnya santai namun menyimpan kemarahan.

Aku keluar saat melihat anak-anak lain berhamburan dari sedan itu, “Lo mau jadi pahlawan sendirian, hah?” Farsya menatap tidak suka.

“Atau lo pikir, Haifa gak punya temen yang peduli sama dia?” tanya Farkha.

Farys mendekat, “Kita juga temennya, Dar.”

“Meskipun gak semua anak Far ikut, tapi paling nggak, semoga kita berempat cukup bisa diandalkan.” Farkha berpidato, “Gue gak mau kehilangan anggota gue lagi, Dar!” sambungnya.

Danial menyerahkan sebuah ponsel kepadaku, “Gue tadi disuruh Farys buat nyusul lokasi terakhir HP Haifa. Ternyata HP-nya dipungut seseorang, katanya sih nemu di pinggir jalan. Terus gue bilang itu HP temen gue yang lagi gue cariin, untungnya dia mau balikin tanpa minta komisi, soalnya gue juga lagi gak ada duit,” cowok itu memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. “By the way, gue ikut ya, barangkali lo butuh tenaga gue.”

Prestasi Danial di taekwondo memang terbilang memukau, tapi, apa tidak akan apa-apa melibatkan mereka? Seperti kata Farkha, aku pun tidak ingin ada korban lain.

Jika yang harus dihadapi memang Ina, aku sendiri pun pasti sanggup karena walau bagaimana, kami pernah satu rumah dan saling menyayangi, mungkin. Tapi juga … aku menghela napas, “Oke, pake mobil gue.”

Kulangkahkan kaki kembali pada pintu kemudi. Aku tak ada hasrat untuk diskusi, apalagi berdebat.

“Heh? Kenapa gak pake dua-duanya aja? Mentang-mentang mobil pinjeman gue butut, gitu?” Farsya memprotes.

“Terserah!” ayolah, aku tidak punya waktu!

O_o

Kami sampai di mulut hutan. Gelap tidak menjadikan ingatanku menghitam. Malam memang membuatnya tampak sangat mengerikan, namun tak mampu menelan kenangan yang pernah terjadi di dalamnya. Saat Haifa menerimaku menjadi pacarnya, saat merengek minta diantar, bahkan saat menitikkan air mata. Aku tidak percaya harus kembali ke tempat ini.

“Kasih tahu Farsya, matiin lampu mobil,” kataku pada Farys.

Dia langsung mengetik pesan di ponselnya. Jadi, kami tetap berangkat menggunakan dua mobil, dengan Farys ikut bersamaku, dan sedan yang dikemudikan Farsya membawa Farkha juga Danial.

Puisi TerkutukWhere stories live. Discover now