"I'm here. And I'll be here whenever you need me."Bisikan lembut itu membuatku sadar kalau aku tidak sedang sendirian. Aku tidak sedang berada di tempat gelap. Tidak sedang dikepung segerombolan laki-laki berengsek. Tidak sedang terancam, baik keselamatan maupun keperawanan.
Okay. Aku menarik napas panjang.
Melihat tubuh Dwiki yang terbujur kaku berhasil membuatku syok setengah mati. Bayangan tentang tubuhku yang terlentang, tangan dan kaki yang merentang, serta beberapa laki-laki yang berdiri di atasnya dengan sorot menatapku seonggok sampah yang pantas diinjak.
Tubuhku melemas saat ini.
Apa Dwiki mengalami hal yang sama? Mengingat posisi terlentangnya sama dengan posisiku kala itu. Atau.. apakah seharusnya aku yang berada di posisi Dwiki sekarang?
Terbaring dengan tubuh tanpa busana dan kulit yang disayat-sayat membentuk kata tertentu.
Bagaimana kalau pada malam itu teman-temanku tidak datang? Apa nasibku akan sama dengan Dwiki? Atau justru lebih parah? Aku diperkosa, pakaianku dilucuti, lalu dimutilasi, paginya masuk televisi.Ya Tuhan, membayangkannya saja membuat seluruh tenagaku hilang.
"Fa... kok bisa jadi gini sih?" suara lirih perempuan menyadarkanku kalau yang memelukku sekarang bukan lagi Risyad.
"Eh?" aku mendongak, mendapati wajah Farsya di hadapanku dan Alfea memelukku dari belakang. "Risyad mana?" tanyaku. Dan tumben Alfea tidak cemburu dada bidang pacarnya yang agak kurus, dipinjam keningku untuk bertumpu.
Farsya mengangkat bahu, "Emm.. apa sih namanya?" dia memutar bola mata, "HBD... eh, BHD. BHD gitu, namanya," laki-laki itu menatapku.
Untuk beberapa detik kami hanya saling tatap. Dan aku yakin setelah ini Alfea akan mengamuk, atau mungkin nanti saat aku tidak ada.
Bagaimana sosok Farsya? Jangan ditanya. Selain cerdas dia juga tampan, kulit putih, tinggi, agak kurus sih, selera pacar Alfea memang begitu.
"BHD?" aku mengulang dan melepaskan mataku dari tatapannya.
"Dwiki meninggal, kayaknya." Ucap Farsya pelan, seraya menjauh dariku dan memeluk seseorang di belakangku, siapa lagi kalau bukan pacarnya.
Dwiki? Meninggal? Dwiki kan laki-laki, apa yang sebenarnya pelaku inginkan dari Dwiki? Apa yang sebenarnya pelaku inginkan dari anak-anak sastra yang ikut lomba puisi?
Aku berjalan menjauhi gudang. Entah sejak kapan orang-orang sudah tidak berkerumun lagi di gudang melainkan di koridor dekat tangga. Aku yakin Dwiki dan Risyad berada di sana.
Sulit sekali menembus rimbunan orang yang mengerumuni Dwiki. Sesekali mereka terasa seperti tameng yang memantulkanku dan membuat tubuhku terdorong ke belakang sampai nyaris jatuh.
Tetapi, aku ingin tahu apa yang dilakukan Risyad di sana. Apa benar dia bisa melakukan Bantuan Hidup Dasar pada Dwiki? Kalau iya, dari mana dia tahu caranya, belajar dan berlatih dimana coba.
Sementara waktu, aku hanya bisa terdiam di belakang, memerhatikan beberapa anak berpelukan menunggu kepastian, menanti jawaban tentang kondisi Dwiki. Beberapa lagi ada yang sudah menangis takut kehilangan. Ada pula yang berdoa agar diselamatkan. Ya, semoga..
Aku tidak ingin membahas orang-orang yang malah membuat story di instagramnya.
Tubuhku terkesiap saat melihat Farkha keluar membelah kerumunan dengan wajah frustasi. "Dwiki gimana?" tanyaku.
Dia mengusap wajahnya, kemudian mengatur napas. Aku menunggu jawaban, tapi si wakil ketua sastra itu tak kunjung bersuara.
Aku mengikutinya saat dia berjalan sedikit menjauhi kerumunan. "Fa, Dwiki anak sastra." Katanya, dengan napas tersenggal, "Talita juga. Anak sastra banyak yang kena sial, Fa. Apa gue juga bakal kena?" dia menatapku cemas, cemas akan keselamatan dirinya sendiri, tentu saja.
YOU ARE READING
Puisi Terkutuk
Mystery / ThrillerKepindahan Haifa membawa bencana. Beberapa anak sastra terluka, bahkan satu orang meregang nyawa di depan mata gadis itu. Gara-gara puisi kutukan dari Jepang yang ia bacakan, keselamatannya pun jadi terancam. "I'm here. And I'll be here whenever you...