Kami masih duduk di dalam mobil. Sama-sama terdiam, sama-sama mendengarkan suara kendaraan lain yang berlalu-lalang.
So it feels like this is stuck in feeling? Aku bisa saja bersikap tidak peduli. But it is even more difficult to do.
"Dar, magrib dulu yuk!" aku melirik arah suara di sampingku. Menghembuskan napas, kudorong persneling ke angka satu.
0_o
Nama Farsya tertera di layar ponsel. 3 panggilan tidak terjawab, aku menempelkan layar ponsel ke telinga. "Hm?"
"Lu dimana?" tanyanya.
Farys di depanku, sudah berdiri menggunakan sandalnya, sedangkan kakiku masih telanjang diam di atas teras masjid.
"Dimana, Dar? Ini gue di rumah Haifa." Farsya mengulang.
Aku menatap Farys yang tanpa suara bertanya siapa orang di balik telepon, "Haifa pulang?" tanyaku, mengabaikan Farys. Laki-laki itu kemudian sibuk sendiri dengan ponselnya.
"Ini gue sama polisi, lagi nyari-," ucapan Farsya terputus.
"Hey, brengsek! Kenapa lo gak bilang kalo Haifa hilang?" itu suara Farel.
"Eh gue mau ngomong!"
Apa dah ini?
"Napa sih lu, malah ngajakin si Farys doang?!" gerutu Farhan.
Biar kutebak, mereka pasti sedang berebut ponsel. "Dar, meski gue dan cewek lu sering berantem, gue kan tetep sohibnya Haifa!" kali ini suara Farkha.
"JANGAN-JANGAN JADI MAHO LU YE! GEGARA DITINGGAL DUA CEWEK?!" ebuset Farid! Dugaanku, dia tidak mengambil ponselnya, melainkan berteriak tidak waras dari jarak jauh.
Aku memutar bola mata.
Dia gak mikir apa kalau di sana ada polisi? Idiot!"Siapa, Dar?" Farys berkomentar setelah berdiri di sampingku. Aku melangkah lalu mengajaknya duduk di tepi teras.
Kusentuh layar loadspeaker, kecekcokan mulai terdengar keras. "Iiihh... gue mau!!!" Alfea? Ponsel tersebut segera kujauhkan dari jangkauan telinga. "Heh! Bajingan! Lo pikir kita gak peduli sama Haifa, hah?! Sini lo! Belum puas gue nonjok lo! Sini! Gue bejek-bejek lo!"
Kerjaan Farsya nih, pasti. Aku hampir lupa kalau polisi yang menangani kasus Haifa itu bersaudara dengan Farsya.
"Kasihin ke Farsya hapenya!" tukasku.
"Apa lo nyuruh-nyuruh gu-, ih! Farsyaaaa!!!" speaker ponselku sampai bergetar memuntahkan jeritan cewek sableng satu itu.
"DIEM! DIEM!" pacarnya menginterupsi dengan tegas.
"Ada kabar dan petunjuk apa di sana?" tanyaku.
"Belum ada, kita masih nyelidikin semuanya. Polisi bilang sih, ada kemungkinan Haifa nyusul ayahnya."
Aku mengernyit, "Kemana?"
"Nah, itu. Gak ada yang tahu keberadaan ayahnya."
"Dari mana polisi tahu kemungkinan Haifa nyusul ayahnya?" itu Farys yang bertanya.
"Puisi. Ada puisi yang ditulis Haifa, dan Farkha mengerti maksud tulisannya."
Aku dan Farys saling bertatapan, membiarkan keheningan melingkupi tidak lebih dari dua detik. "Kita ke sana!" sahutku mantap. Kendati demikian, bukannya langsung menghampiri mobil, Farys malah kembali sibuk dengan ponselnya.
"Buruan, Rys!" seruku.
"Bentar, Dar. WhatsApp Haifa sempet aktif." Jawabnya tanpa memalingkan pandangan dari layar ponsel.
YOU ARE READING
Puisi Terkutuk
Mystery / ThrillerKepindahan Haifa membawa bencana. Beberapa anak sastra terluka, bahkan satu orang meregang nyawa di depan mata gadis itu. Gara-gara puisi kutukan dari Jepang yang ia bacakan, keselamatannya pun jadi terancam. "I'm here. And I'll be here whenever you...