7 : HAIFA

318 16 8
                                    

Dan aku menganggap semuanya selesai. Tanpa melewati hari kemarin. Aku hanya kecelakaan mobil lalu pingsan. Seseorang membawaku ke rumah sakit. Kemudian aku bermimpi diganggu oleh beberapa preman sebelum kini sadar dari pingsan. Kurasa ingatan yang kurangkai sendiri jauh lebih membuatku nyaman dibanding mengingat kejadian sebenarnya.

Tanganku menarik overhead table ke depan dada, menyiapkan sebuah kertas beserta alat tulis lain yang tadi pagi dibawakan Bi Tiwi atas permintaanku. Aku membenahi posisi dudukku.

1.Talita - sastra, osis

2.Difa - sastra, osis

3.Aku - sastra?

Keningku berkerut. Tanganku berhenti menulis.

Apa semua kejadian ini berhubungan? Atau mungkin tidak ada hubungannya sama sekali?

Aku berpikir ulang.

Vita.

Aku menuliskan nama partner Talita di atas nama Talita. Belum sampai tiga detik, aku sudah mencoretnya, merobek dan meremas kertas itu, lalu berakhir kulemparkan.

1.Tomino

2.Talita, Vita - sastra, osis

3.Difa, pacarnya - sastra, osis

4.Aku, ? - sastra, ?

Aku mencoba mencari pola. Kalau setiap sasarannya ditunjukan untuk 2 orang, dan orang pertama adalah anak sastra merangkap osis, dugaan itu patah karena aku hanya mengalami kejadian menyebalkan sendirian, dan aku tidak ikut kepengurusan osis. Atau bisa jadi orang kedua dalam setiap kasus (Vita dan pacarnya Difa), hanya instrumen yang tidak menjadi target pokok permainan si pelaku.

Lalu Tomino? Dia juga korban. Gosip neraka Tomino dimanfaatkan pelaku agar orang-orang terfokus pada isu itu.

"Awh!" aku meringis. Pulpenku terlepas dari genggaman dan tangan kananku bergetar merasakan sakit yang bersahutan.

Kedua telapak tanganku memang sedikit bengkak dan kebiru-biruan. Sepertinya ada pembuluh darah yang pecah akibat tekanan benda tumpul berlebihan.

Gila saja! Telapak tanganku diinjak laki-laki pengecut yang tak bermoral. Dadaku berdesir mengingatnya.

Aku mencoba menarik napas panjang, berniat melakukan rileksasi. Naasnya yang terjadi adalah dadaku semakin bergejolak, vena seolah mengalirkan api, bukan lagi darah. Seluruh tubuhku terasa panas. Napasku memburu bisu. Aku menahan diri untuk tidak berteriak.

Semuanya oke, Haifa. Kamu baik-baik saja. Tanganmu hanya terlindas ban motor saat kecelakaan, atau kalau mau ban mobil pun terserah. Hatiku bersugesti.

Kali ini aku berhasil menarik napas panjang, menghembuskannya, dan kembali fokus pada kertas di atas overhead table. Sampai dimana tadi?

Tomino.

Entah kenapa aku menjadi yakin kalau kejadian-kejadian di sekolah memang sudah direncanakan seseorang atau sekelompok orang. Dimulai dari pembacaan puisi Tomino, kemenanganku dalam lomba, dan kejadian yang menimpa Talita.

Ya, pelakunya bisa saja anak sastra. Bahkan kemungkinan besarnya memang anak sastra. Atau bisa juga bukan. Pelakunya mungkin hanya mempunyai akses dengan anak sastra.

Secepat mungkin aku meraih ponsel di meja nakas. Kemudian bergegas menghubungi Farkha, si wakil ketua sastra. Kurang ajarnya dia tidak mengangkat panggilanku.

'P'

Aku mulai mengetik pesan.

'Siapa yang menentukan nomor urut tampil di lomba puisi waktu itu?'

Puisi TerkutukWhere stories live. Discover now