Aku memeluk tubuh wanita paruh baya yang duduk di sampingku. Risyad mengusap-usap punggung wanita itu di samping yang lainnya.
Tangisnya tersedu-sedu, air matanya tak kunjung surut. Beberapa saat tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kenapa harus terjadi pada Dwiki…” kali ini mulutnya berucap lirih, begitu pilu dan menyayat hati. Dia menatap kosong ke depan. Bulir-bulir membasahi hampir seluruh wajahnya. Mengaliri bibir dan pipinya.
“Maafkan kami, Bu…” aku menyenderkan kepala di bahunya.
“Polisi sedang menyelidiki kasus ini. Pelakunya pasti tertangkap dan mendapat hukuman setimpal.” Farsya—yang duduk di kursi tunggu seberang kami—ikut bersuara.
“Dokter bilang…” tangisnya kembali pecah saat ia bahkan belum menyelesaikan ucapannya. “Dwi-hrk-ki, srk. Meninggal…” tubuhnya bergetar hebat.
Kepalaku menggeleng lemah, berusaha menyanggah pernyataan itu. Meski pikiranku tahu pasti, apa yang dikatakan dokter tidaklah salah.
“Masih ada harapan Bu… kami yakin Dwiki juga tidak akan berhenti berjuang.” Risyad tersenyum menenangkan.
“Dia meninggal…” gumam Ibunya Dwiki, dengan tatapan yang masih kosong.
Hancur. Begitulah perasaannya sebagaimana perasaan kami. “Rumah sakit sudah tidak mau lagi merawatnya…”
Tanganku memeluknya semakin erat, mencoba untuk—paling tidak—sedikit saja menguatkan. Sungguh, tidak ada yang mustahil bagi-Nya, kan?
Dwiki, hari ini kami mengunjungimu. Dengan membawa segenggam harapan. Beserta doa-doa yang senantiasa mengiringi. Kau akan kembali pada kami karena kami semua percaya kau kuat. Dan Tuhan bersama siapa pun yang tidak menyerah, bukan?
“Jangan menyerah Bu, kumohon… nanti, kita coba berdiskusi lagi dengan dokter dan pihak rumah sakit. Minta lagi waktu, beri Dwiki kesempatan.” Entah sejak kapan air mataku terjatuh beberapa tetes.
Aku cukup paham, pasien dengan mati otak yang sudah dipastikan secara klinis dan laboratorium sebenarnya menjadi indikasi tidak perlu masuk ICU, kecuali keberadaannya diperlukan sebagai pendonor organ. Dengan kata lain, secara medis pasien dikatakan sudah meninggal.
Mati otak adalah kondisi tidak ada distribusi darah dan oksigen ke otak, yang menyebabkan seluruh sistem otak—termasuk batang otak, saraf, dan bagian-bagian otak lain yang mengatur aktivitas kehidupan seperti pernapasan dan denyut jantung—tidak lagi bekerja. Menurut wikipedia, bila tubuh kehilangan kemampuan untuk mengorganisasi dan regulasi, maka tubuh hanyalah sekumpulan organ yang dapat hidup dan berfungsi dengan bantuan alat dari luar. Dan tanda kehidupan tersebut akan hilang jika bantuan dari alat dihentikan.
Selang beberapa menit berlalu, aku permisi untuk pergi ke toilet sebentar. Tak kusangka, seseorang membuatku sedikit kaget tatkala tubuhnya berdiri di depan pintu ketika aku keluar dari petak WC itu.
“Eh, Bu Ina. Mau ke toilet juga, Bu?” aku bertanya polos.
Dia menatapku dengan mata memicing, “Kenapa kamu menginginkan Dwiki tetap hidup?”
What?
“Maksudnya?” aku mengernyit.
“Ermm… maksudku, kamu tahu apa artinya brain death, kan?” tanyanya sembari memiringkan kepala. “Membiarkannya hidup dengan ventilator bukankah itu menyiksa?” dia melipat tangan di depan dada.
“Kamu mau dia mati?” tanyaku, masih berlagak polos.
“Hah!” dia menghembuskan napas kasar sembari tersenyum kecut. “Bukankah mati otak sama dengan mati?” matanya menatapku intens. “Tidak ada lagi kehidupan. Tidak ada harapan. Tidak ada sedikit pun kemungkinan. Sebab saat alat bantu napas itu dilepas, dia sebenarnya benar-benar meninggal. Meninggal dengan alami, tenang, dan damai. Aku tahu kamu tahu akan hal itu.” Cerocosnya. “Herannya, kenapa kamu menginginkan Dwiki tetap hidup dalam kepalsuan?”
YOU ARE READING
Puisi Terkutuk
Mystery / ThrillerKepindahan Haifa membawa bencana. Beberapa anak sastra terluka, bahkan satu orang meregang nyawa di depan mata gadis itu. Gara-gara puisi kutukan dari Jepang yang ia bacakan, keselamatannya pun jadi terancam. "I'm here. And I'll be here whenever you...