“Aku pernah memimpikanmu suatu malam,Aku melihatmu di hutan gelap.
Dikepung pohon-pohon yang seakan tumbuh sejak purba.
Di tengah hutan itu kau sendirian,
Bergaun serba putih,
Duduk memainkan piano.
Tidak ada suara.
Lalu batang-batang pepohonan purba itu,
Bagai tangan raksasa yang hitam,
Perlahan melahapmu,
Aku tidak pernah menceritakan mimpi ini kepadamu.
Mungkin inilah yang membedakan kita.
Kau menyimpan rahasia.
Aku menyimpan ketakutan.Mungkin benar,
Kita dipertemukan bukan untuk kebahagiaan,
Tetapi untuk saling menguatkan.
-Agus Noor, Gerimis dalam E minor”Haifa terdiam, menatapku dari kursinya. Rambutnya sudah kembali diikat, kacamatanya bertengger. Tidak ada masker kain di wajahnya—dia memang sudah melepasnya sejak pertama aku menemukan gadis itu di hutan—masih dengan seragam putih abu-abunya, juga aku yang masih dengan baju taekwondo yang terlingkupi oleh jaket.
Seisi kafe bertepuk tangan seusai aku membacakan puisi karya Agus Noor tersebut. Ini kali pertama dalam hidupku. Membaca puisi di depan banyak orang, untuk seorang perempuan. Duduk pada kursi di atas panggung kecil, dengan gitar yang kupetik beberapa kali untuk mengiringi setiap lariknya.
Walau sebenarnya, aku tidak suka sastra. Sungguh.
Bagaimana seseorang bisa menjadi berbeda di atas panggung. Bagaimana seseorang bisa memiliki kata-kata yang amat manis. Bagaimana seseorang bisa terlihat sangat romantis. Dengan puisinya. Dengan sebuah karya sastra.
Padahal kenyataannya, orang itu sangat dingin. Padahal kenyataannya, orang itu sangat bajingan. Sastra menipu. Penggiat sastra benar-benar aktor yang lihai. Dan sastra adalah senjata agar banyak umat terpesona pada sesuatu yang tidak nyata.
Itu kenapa aku tidak menyukainya.
Tetapi Haifa, kemunculannya dalam hidupku meluluhlantakkan persepsi itu. Aku tidak peduli lagi soal suka dan tidak suka.
Yang ku tahu, sekarang dan selamanya, aku menyukai gadis bermata hazel itu. Karya Tuhan yang lebih indah dari karya sastra manapun. Tidak ada bandingan, selama tidak ada yang mengingatkanku pada sikapnya yang sering membuat geram.
“Kamu gak perlu menjadi orang lain untuk menyenangkanku,” Haifa berujar, saat aku kembali ke tempat duduk di seberangnya.
“Geer!” balasku tak acuh.
Dia menipiskan bibirnya, “Kamu gak suka sastra, kan?” tanyanya, menyelidik.
“Enggak, aku sukanya kamu,” kataku cepat. Masih sambil mengabaikannya dan sibuk memeriksa ponsel.
“Terus ngapain baca puisi? Mending kalo bagus,” suaranya memelan di ujung kalimat.
“Aku nemu puisinya di instagram. Kebetulan tadi kita abis dari hutan kan,” kali ini aku menatapnya, “Jangan main ke hutan lagi, atau aku akan membaca puisi dengan gaya yang sangat norak!” ancamku.
Haifa mengernyit, “Takut!” celetuknya dengan nada dingin. “Tapi gak peduli. Yang noraknya juga kamu, bukan aku,” dia mengangkat bahunya, benar-benar meremehkan ancamanku.
YOU ARE READING
Puisi Terkutuk
Mystery / ThrillerKepindahan Haifa membawa bencana. Beberapa anak sastra terluka, bahkan satu orang meregang nyawa di depan mata gadis itu. Gara-gara puisi kutukan dari Jepang yang ia bacakan, keselamatannya pun jadi terancam. "I'm here. And I'll be here whenever you...