13 : HAIFA

99 11 5
                                    

Cupu!

Aku membiarkan kelopak mataku terbuka. Mempersilakan cahaya memantulkan objek dan mengirimnya melalui kornea menuju pupil diteruskan ke lensa. Kemudian membiaskan cahaya agar fokus di retina. Photoreceptors mengkonversi menjadi gelombang elektrik untuk disampaikan melalui saraf optikus pada otak, memproses sinyal menjadi gambar visual.

Cukup.

Aku kembali memejamkan mata. Merasa culun dan cupu sekali. Terjatuh dari lantai dua lalu pingsan dan berakhir di brankar dingin sebuah ruangan yang kuyakini ini bukan UKS ataupun rumah sakit. Mungkin klinik dekat sekolah, tebakku.

BUGH!

Itu suara tembok yang dipukul kepalan tangan dengan sangat keras. Saat membuka mata barusan, aku memang melihat Risyad sedang mengurung Firhan ke tembok dengan keduatangannya.

“KENAPA LO GAK BERBUAT APA-APA HAH?!” Risyad bertanya geram.

“Sa-saya,” suara Firhan bergetar, “Saya pingsan, Bang,” sahutnya ketakutan.

Aichmo Phobia.

Saat aku ditinggal berdua dengan Firhan di ruang redaksi, saat itulah aku tidak menyadari seseorang masuk dan mengunci pintu dari dalam. Aku sedang fokus pada komputer untuk mempersiapkan majalah yang akan terbit minggu depan. Sementara Firhan sedang sibuk dengan berkas-berkas di meja.

Mendengar suara Firhan berteriak histeris, aku berbalik ke arahnya. Di sana seseorang berbadan tinggi besar dengan jubah hitam dan topeng ghostface menyeramkan berdiri memegangi pisau runcing yang terlihat tajam dan mengkilap.

“Jauhkan benda itu!” pekik Firhan, matanya tertuju pada pisau yang diacungkan si pelaku ke arahnya.

Tubuhku menegang. Memang terasa cupu, namun siapa yang tidak takut berada dalam situasi seperti ini.

Ayolah, Haifa kan pemberani! Gengsiku memprovokasi.

Aku menggapai kruk dan berusaha berdiri. Dengan langkah yang kubuat setenang mungkin, Firhan kudekati.

“Fa…” panggilnya.

Laki-laki itu beringsut ke belakang tubuhku dengan tangan bergetar memegang baju bagian belakangku. Napasnya cepat tak beraturan. “Tolong, jauhkan benda itu dulu,” ucapnya pelan.

“Benda?” aku menyadari Firhan yang tidak berhenti menatap pisau dengan sangat ketakutan. Padahal, topeng ghostface jauh lebih menyeramkan dibanding sebilah pisau dapur.

Laki-laki itu semakin gemetar di belakangku, “Tolong, Fa… Hilangkan pisaunya, setelah itu ki-kita lawan ba- AAH!” Firhan menjerit saat benda tajam itu disodorkan ke depan oleh pelaku.

“Lu phobia benda tajam?” tanyaku sembari merengutkan kening.

Firhan mengangguk dengan napas yang semakin tak beraturan. Dia meremas bajuku.

“Merem, dan bayangin hal lain,” pintaku.

PRAK!

Aku menepis pisau yang teracung itu dengan ujung kruk. Namun pisau itu tak serta-merta terlempar dari tangan si pelaku.

Firhan sudah menjauh, aku sendiri bergulat dengan pelaku dan pisaunya. Firhan tak berhenti menjerit saat pisau itu berusaha diarahkan untuk menusuk tubuhku.

Keluar dan cari bantuan!” pekikku, jengah juga melihat Firhan yang hanya berjongkok sembari memeluk lututnya dan menjerit-jerit histeris.

Puisi TerkutukWhere stories live. Discover now