18+ dibawah 18 tolong lewat aja ya.. ada cerita kasus pemerkosaannya.
Semula aku hanya duduk di koridor pinggir lapangan, memerhatikan anak tekwondo yang sedang berlatih. Tak lama—tentu saja, kalau berlama-lama aku akan sangat bosan, sekali pun aku suka bertarung—aku melihat Pak Carlo keluar dari lapangan menuju koridor dan hilang ditelan lorong yang terapit dua bangunan. Setelah itu Ina menyusul.
Aku mengernyit. Kemana mereka?
Setahuku guru-guru yang lain sudah banyak yang pulang, lalu mereka mau kemana?
Aku baru ingat, lorong di seberang sana terhubung dengan sebuah taman yang dikelilingi oleh deretan ruang kelas, kemudian seterusnya ada sebuah pintu kaca. Entah pintu apa namanya, aku bukan tukang pintu. Intinya pintu tersebut seperti pintu di mini market, di toko-toko, distro, atau di bank-bank. Dan pintu itu terhubung pada ruang resepsionis. Ruang untuk keluar sekolah, menuju parkiran depan.
Aku segera bangkit dan melangkahkan kruk lebar-lebar sampai tangan dan ketiakku terasa sakit tertekan. Aku mengambil arah yang lebih cepat sampai ke tempat parkir.
Tunggu dulu, bisa saja Ina dan Pak Carlo hanya pergi ke kantin. Lorong yang mereka lalui juga bisa mengarah ke kantin seandainya mereka berbelok ke kiri di tengah lorong.
Lalu apa masalahnya? Setelah dari parkiran aku kan bisa langsung menuju kantin? Ya ampun Haifa! Hal begitu saja menjadi beban pikiran! Bagaimana kamu tidak kurus?! Aku merutuki diriku sendiri.
Langkahku terhenti saat melihat mobil Pak Carlo keluar dari gerbang. Ada Ina juga di dalamnya.
Apa aku harus mengikutinya? Aku kan bisa tanya Risyad, kemana mereka akan pergi. Tapi bagaimana kalau Risyad tidak tahu? Oh. Sial!
Di depan gerbang, aku mengangkat tangan kananku ke udara, memanggil taksi. Sok kaya sekali aku ini. Tapi apa boleh buat.
“Pak, ikutin mobil hitam di depan ya, yang itu.” Aku menunjuk mobil Pak Carlo yang sudah terhalang oleh mobil lain.
“Oke..”
Aku memakai masker kain di wajah, menggerai rambut, dan melepas kaca mata. Bahaya kalau Ina melihatku.
0_o
Pak Carlo mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi, aku yang berada di dalam taksi harus terombang-ambing karena Pak Supir pun kusuruh ngebut agar tidak kehilangan jejak mereka. Mobil berbelok ke sebuah jalan yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil dan sisa di sisinya mungkin cukup untuk satu motor.
“Ini tempat apa, Pak?” aku bertanya, barang kali saja Pak Supir tahu. Atau paling tidak, pernah mengantar penumpang ke sini.
“Wah, saya juga baru ke sini, Mbak.” Dugaan yang meleset. “Sepertinya perkampungan.”
“Bisa ada kampung di kota besar ya, Pak?”
“Ya bisa, Mbak. Atau perumahan kumuh.”
Di samping kanan dan kiri berjejer rumah-rumah kecil yang memang kotor. Dinding-dinding rumah yang penuh debu dan catnya yang sudah tak terlihat lagi berwarna apa. Ada rumah yang berpagar, ada pula yang tidak. Namun pagarnya tentu tidak baik-baik saja. Tidak terlihat kekokohan di pagar-pagar besi itu.
Tetapi tempat ini tetap hidup. Banyak orang berlalu-lalang, anak-anak bermain layangan dan berlarian. Membuat taksi melaju pelan, takut menabrak mereka tanpa sengaja. Sedangkan Ina, sudah hilang di depan sana.
Mobil terus melaju. Sejauh ini tidak ada jalan bercabang atau perempatan, kemungkinan mobil Pak Carlo berjalan lurus mengikuti jalur ini.
Semakin ke dalam, tempat ini semakin sepi. Jarak-jarak antar rumah sudah tidak sedekat dan seberjejer tadi. Rumah-rumah yang kumuh pun berganti menjadi bangunan megah yang tidak terawat. Memiliki arsitektur yang unik, dengan batu-batu alam menghias dindingnya. Seperti rumah peninggalan belanda. Namun tetap kotor, rusak, dan bersarang laba-laba.
YOU ARE READING
Puisi Terkutuk
Mystery / ThrillerKepindahan Haifa membawa bencana. Beberapa anak sastra terluka, bahkan satu orang meregang nyawa di depan mata gadis itu. Gara-gara puisi kutukan dari Jepang yang ia bacakan, keselamatannya pun jadi terancam. "I'm here. And I'll be here whenever you...