14 : HAIDAR

113 12 1
                                    

Sesaat kami hanya mematung.
Sembari memandangi gedung sekolah kami di malam hari.

Sebenarnya, satu jam yang lalu aku sudah kemari bersama Haifa, mengecek gudang di lantai tiga. Dan tak ada kejadian apa pun di sana.

Detik ini kami kembali dengan perasaan kuat di masing-masing naluri, Firhan mungkin ada di sana, mengingat kejadian-kejadian sebelumnya yang tidak luput dari gudang lantai tiga. Tapi apa yang terjadi?

Rasanya kaki kami sulit melangkah. Padahal saat bersama Haifa tadi mudah-mudah saja. Dan kau tau ini ulah siapa?

Jelas.
Si idiot Farel dan Fardam!

Dengan kegantengan dan kesopansantunan, siapa yang akan tega menolak permintaanku?

Right! Aku berhasil membujuk Pak Satpam untuk memberi izin masuk ke sekolah ini. Kampretnya, dua cecunguk sialan itu malah menyia-nyiakannya.

“Kita tunggu yang lain!” seru Fardam.

Haifa melangkahkan kedua kruknya, “Gue sama Risyad masuk duluan,”

“Hey! Gak bisa gitu dong!” Farel menahan tangan cewek itu. “Lu gak liat gedungnya serem banget?”

Haifa mendongak menatapku dengan wajah memelas, berharap aku akan mendukung keputusannya dan menjauhkan dua kecebong ini. “Tadi gue sama Risyad udah ke sini dan gak ada apa-apa kok.”

“Itu kan belum jam delapan malam.” Pak Satpam ikut bersuara.

“Nah, lo tahu? Ini gedung peninggalan Belanda yang gosipnya, kalo kita masih berada di dalam sekolah lebih dari jam delapan malam, akan ada Noni Belanda yang berkeliaran.” Fardam menjelaskan dengan suara horornya.

Aku yang pernah bermalam di sekolah hanya diam saja. Sudah menduga, malam yang tadinya biasa-biasa saja akan tersulap jadi semenyeramkan ini jika ada mereka berdua.

“Ayo ah, tunggu yang lainnya di pinggir jalan aja. Merinding gue.” Farel menarik tangan Haifa dan Fardam.

“Merinding itu respon tubuh terhadap situasi tertentu. Dingin, takut, terancam, atau mengalami kejadian yang emosional kayak dengerin musik, bersentu-,”

“Fa, cukup, Fa!” Fardam memotong. “Gue tahu itu reflek pilomotor, gak perlu lu jelasin juga!” wajahnya terlihat suntuk.

“Hey, gue gak tahu lho, sumpah!” Farel menimpali dengan antusias. “Tapi gak ada yang lebih penting dari keselamatan mata kita untuk tidak melihat Noni Belanda. Ayo ah, jangan di sini terus, ngeri aing!”

Gedung sekolah kami memang tampak lebih mengerikan jika dilihat di malam hari. Bangunannya tinggi menjulang, desainnya kuno, jendela-jendela besar berjajar dari material kayu. Dinding-dindingnya ada yang ditumbuhi tanaman merambat dengan daun-daun tanpa bunga.

Katanya dulu ini adalah markas Belanda yang digunakan untuk menyiksa orang pribumi. Perempuannya dijadikan pemuas nafsu mereka. Sementara si Noni Belanda itu bule baik hati, anak dari salah satu tentara Belanda yang selalu berusaha menolong pribumi sampai akhirnya ikut terbunuh juga.

Lalu saat zaman Jepang, gedung ini dipakai tempat pembantaian. Maka dari itu, anak OSIS yang pernah beberapa kali menginap sudah tidak heran kalau mendengar suara rintihan orang kesakitan, atau suara cambukkan.

Lebih parah lagi ada yang melapor padaku kalau dia mendengar suara desahan orang yang sedang bercinta. Jangan berpikir aku percaya. Itu sih, pasti karena dianya saja yang terlalu banyak menonton film dewasa. Buktinya aku tidak pernah mendengar atau mengalami hal apa pun.

“Kak, kamu belain mereka juga?!”

“Hah?” aku mengerjap sejenak, kemudian menatap Haifa. “Belain kamu dong,” tangan kananku melingkar di pundaknya, “Ayo masuk, Pak,” ajakku, termasuk pada Pak Satpam.

Puisi TerkutukWhere stories live. Discover now