Kacau. Berpura-pura pacaran dengan Ina adalah ide terbodoh yang akan kusesali seumur hidup! Jika itu membuat aku dan Haifa benar-benar menjadi asing selamanya.
DRAK!
Aku melempar tubuh laki-laki tinggi besar ke pojok wastafel. Badannya terhuyung ke belakang, mendupak tong sampah kecil hingga tumpah dan isinya berantakan. Aku mengernyit.
Pembalut cewek? DI TOILET COWOK?
Gila! Jorok banget ni cewek-cewek, toilet mana aja dipake kali sama mereka.“Sumpah, Dar! Bukan gue pelakunya!” sudah ada dua lebam di wajahnya, laki-laki itu masih mengelak.
Tidak tahu apa yang membuat Ramdhan—yang sudah menjadi tersangka—tetap berani datang ke sekolah. Apa karena belum ada surat penahanan? Meski begitu, ngapain dia ke sini? Sementara seantero sekolah sedang gencar mengobrak-abrik kebusukkannya.
“Sayangnya bukti berkata lain.” Aku menyeringai penuh api.
Dia menatapku sambil mengatur napasnya yang tersenggal-senggal. “Gue gak tahu soal kasus pemerkosaan, gak tahu juga so-,”
“DAMMIT!” aku meninjunya di bagian perut.
“Uhuk! Uhuk!” dia terbatuk. Pasti mual banget tuh.
Ramdhan tertangkap CCTV saat masuk ke ruang redaksi dengan topengnya. Itu bukti pertama.
Orang-orang yang mencoba memerkosa Haifa dalam video sudah diringkus polisi. Mereka mengatakan bahwa Ramdhanlah bos yang menyuruhnya melakukan hal itu. Bukti kedua.
Bilangan prima. Yap! Siapa bilang aku diam saja? Mengetahui pola bilangan ganjil salah, aku mencoba berbagai pola lain yang mungkin. Dan polanya ketemu saat aku mengingat penjelasan Farkha bahwa Talita, seharusnya bukan orang pertama yang tampil dalam lomba puisi, melainkan orang kedua.
Pola itu bisa menjadi bukti pendukung kalau Ramdhanlah pelakunya sebagai orang ke sembilan (bukan bilangan prima). Keberuntungan baginya ketika kami meyakini polanya ganjil, dia berpura-pura ketakutan, sekaligus menganggap dirinya sendiri korban selanjutnya.
Saat CCTV terkuak, kini dia mengaku hanya berusaha mencelakai Haifa di ruang redaksi agar kasusnya selesai setelah orang terakhir celaka. “Gue gak tahu soal kecelakaan-kecelakaan itu.” Nah, kan! Dia membuka mulut lagi.
“Gue beneran takut kalo gue korban selanjutnya. Dan, sumpah!” dia berusaha berdiri tegak sambil memegangi perutnya. “Gue tahu gue salah. Gue emang mau nyelakain Haifa saat di ruang redaksi. Gue pikir dengan begitu semuanya selesai tanpa gue atau pun Firhan harus celaka. Itu sebabnya gue gak beneran ngegunain pisau itu, gue cuma mau nakut-nakutin Firhan sampe pingsan. Yang lain-lainnya gue gak tahu, sumpah! Uhuk!”
Kedua tanganku mengepal kuat. Saat pukulan coba kulayangkan, dia mampu menahan dan mendorongku. Sial!
Aku menyadari kedatangan seseorang, dari sebuah kaca besar di atas wastafel terlihat Farys dengan tenang memasuki toilet. “Ck! Gue sebenernya males ikut campur urusan orang.” Dia berkata santai sembari mengeluarkan decakkan, seolah tidak melihat hal apapun yang menegangkan.
Aku masih memandangi Ramdhan dengan geram. Tubuhku menerjang ke arahnya, tangan kananku melayang dengan mengepal, beberapa mili dari ujung kacamata seseorang, aku berhenti.
Kepalan tanganku yang masih mematung di udara perlahan melemas. Seseorang itu menatapku dingin seolah aku laki-laki bajingan yang menjijikkan, sampah, tak berarti.
Bersamaan dengan hembusan napas yang panjang, kuturunkan tanganku. Di belakang sosok berkacamata itu Farys menolong Ramdhan, berusaha membawa keluar dengan memapahnya. “Hidup kalian mirip FTV banget, Gusti!” celetuknya. “Gak sekalian main serial azab dah!” aku cukup terkesan dengan pertahananku untuk tidak emosi pada laki-laki pendiam yang sekalinya bercanda menyayat jiwa.
YOU ARE READING
Puisi Terkutuk
Mystery / ThrillerKepindahan Haifa membawa bencana. Beberapa anak sastra terluka, bahkan satu orang meregang nyawa di depan mata gadis itu. Gara-gara puisi kutukan dari Jepang yang ia bacakan, keselamatannya pun jadi terancam. "I'm here. And I'll be here whenever you...