Part ini panjang, ujungnya bunuh diri pokoknya, kalo bukan berarti partnya kepotong, nah apus dulu dari perpustakaannya trus add lagi. Makasih yang bacaaa :))
"Seharusnya kita gak lewat sini, macet kan!" anak majikannya Mang Wian itu memang kurang pergaulan. Pilih jalan yang tidak macet saja gak bisa! Mencari jalan tikus yang bisa dimasuki tikus raksasa seperti mobil saja tidak tahu!
"Cuma ini jalan satu-satunya," sahutnya tanpa melihatku.
"Lu nya aja yang kuper! Makanya main tuh jangan sama anak hits yang merepotkan doang, sekali-kali main sama anak berandal yang lebih bisa diandalkan!"
"Ini kan lagi main sama anak berandal," aku bisa melihat bibirnya melengkung penuh kepuasan.
Apa? Siapa yang dia maksud anak berandal? Aku? Enak saja!
Bodohnya aku hanya bisa memasang tampang tak senang tanpa membalas ucapannya. Alfea memberi kabar kalau acaranya sudah dimulai, saat ini di sana sedang menampilkan beat box dari ekskul band.
Setelah melewati bunderan HI, kita sampai di Grand Indonesia, mobil masuk melalui west mall. Aku turun di depan pintu lobi bersama.. em, kusebut saja Mang Wian karena aku benar-benar lupa siapa namanya. Seorang laki-laki menyapa seraya tersenyum ke arahku, kemudian Mang Wian menyerahkan kunci mobil untuk dibawa ke area parkir.
Sebelum masuk Amarta Lobby, aku sempat menghentikan langkahku. Kok kita kayak pasangan suami istri yang mau pesan kamar hotel? Aku meringis dalam hati. Sebenarnya ini mall, jadi kurasa lebih mirip suami istri yang mau berbelanja keperluan bulanan, eh.
Langkahku terhenti bukan karena pikiran bodoh itu kok. Tapi karena firasatku buruk saat ini. Entah karena aku akan kalah mungkin dalam lomba membaca puisi yang pesertanya hanya anak sastra dari sekolahku. Atau ada hal lain?
Sementara Mang Wian sudah masuk lebih dulu, aku berbalik. Bola mataku bergerak menelusuri segala yang tampak di sekitar. Perasaan tidak enak yang menyeruak ini muncul sejak aku keluar dari pintu pagar rumahku. Mataku tidak mau diam. Dia terus berusaha menyelisik setiap manusia yang berkeliaran di luar, tapi tidak ada seorang pun yang mencurigakan.
Baiklah, mungkin bukan apa-apa, mungkin aku hanya gugup. Dengan mantap aku berbalik untuk segera memasuki lobi, "Astagfirullah!" tubuhku menabrak seseorang. Lah, tumben mulutku beristighfar? Begini nih, kalau sudah ada yang ditakuti, baru lari pada pertolongan Tuhan, kemarin-kemarin kemana saja? Lah lagi, otakku malah ceramah.
"Ada apa?" tanya Mang Wian. "Sori, tadi kukira kamu ngikutin di belakang," sambungnya.
Sambil mengatur napas karena kaget bukan main, aku memandang lurus ke arah mata Mang Wian yang menatapku khawatir, 'Ada yang mengikutiku. Ada yang membuntuti kita!' Aku ingin sekali menjawab, tapi bagaimana kalau ini hanya perasaanku saja?
"Gak ada apa-apa," aku nyengir seraya melangkah masuk. Dia tidak segera menyusul, pasti matanya ikut mencari sesuatu yang menjadi penyebab aku terlihat aneh.
Setelah sampai di lantai 8, aku masuk ke dalam Galeri Indonesia Kaya dan disambut oleh visual digital keren. Aku menghampiri persegi panjang seperti cermin yang berukuran sedikit lebih besar dari badanku. Nah, ada wajahku di sana, sedang memakai pakaian adat daerah Bali. Kemudian aku menggerakan tangan ke udara mengikuti instruksi dua lingkaran merah yang ada di cermin digital, secara otomatis pakaian adat yang kugunakan berganti menjadi pakaian adat daerah Jawa.
"Kita mau ke auditorium, kan? Acaranya bukan udah mulai?" oke, Mang Wian ganggu saja, tidak kuat melihatku senang rupanya.
"Iya, ayo!" naasnya aku juga tidak bisa menolak, karena yang dia katakan ada benarnya. Bukan kah aku seharusnya berada di auditorium untuk melihat seberapa hebat lawan-lawanku?
YOU ARE READING
Puisi Terkutuk
Misterio / SuspensoKepindahan Haifa membawa bencana. Beberapa anak sastra terluka, bahkan satu orang meregang nyawa di depan mata gadis itu. Gara-gara puisi kutukan dari Jepang yang ia bacakan, keselamatannya pun jadi terancam. "I'm here. And I'll be here whenever you...