19 : HAIFA

95 5 3
                                    

-----&-----

“Selamat datang. Kau akan masuk ke dalam kungkunganku. Dan meraung.”

DETIK INI, DENGAN SADAR AKU BERHARAP PADA TUHAN;
JIKA TIDAK ADA LAGI PILIHAN,

TUHAN,
TOLONG,

AKU INGIN MATI SAJA.

Tentu. Aku ingin mati saja ketimbang harus meraung di bawah tubuh laki-laki yang jangankan suami, aku mencintainya saja pun, tidak. Pak Carlo? Siapa dia?! Suami bukan! Tahu namanya juga baru beberapa hari yang lalu, tiba-tiba ingin aku meraung di bawah kungkungannya? NGIMPI!

Suara langkah kaki mendekat, membuat tubuhku beringsut mundur dalam posisi duduk. Aku merasa sedikit diuntungkan karena tangan dan kakiku tidak diikat.

Walaupun kalau dipikir-pikir, untung dari mananya ditawan oleh laki-laki mesum, iw! Aku memutar bola mata.

TREK!

Bersamaan dengan cahaya lampu menyala, saraf optikusku bereaksi. Pandanganku mengedar ke setiap sudut ruangan. Tidak ada perabot apa pun, tidak ada jendela satu pun. Hanya lantai dengan ubin dingin dan berdebu yang kududuki, tembok bercat putih yang sudah kusam, dan sebuah pintu yang tertutup.

Carlo berjongkok di depanku. “Kenapa Bapak ngelakuin ini?” aku duluan bertanya.

Dia menatapku. Bola matanya menelusur dari atas ke bawah. Cuih!

Sialan! Aku jadi risi.

Bibirnya kemudian melengkung, sorot matanya kembali menelusuri tubuhku dari ujung kepala. Baru begini saja aku sudah merasa ditelanjangi laki-laki abnormal.

“Tadi kau tanya apa?” kali ini dia mulai memfokuskan diri pada interaksi verbal.

“Bapak kenapa ngelakuin ini?!” aku mengulang pertanyaan sembari melotot kesal.

“Ngelakuin apa?” dia balik bertanya, ekspresinya tenang seolah tidak pernah berbuat dosa.

“Bapak dan Bu Ina kan, yang sudah mencelakai teman-teman saya?” sampai di sini aku mencoba bersikap sopan.

Carlo mengangguk-anggukkan kepalanya seperti boneka, “Mencelakai?” dia mengulang. “Aku justru hanya memberi sedikit pelajaran kepada mereka, atas apa yang mereka lakukan.”

Aku menggeleng. “Mereka salah apa?! DWIKI SALAH APA?!” aku memberi penekanan. Ya ampun, suara teriakkanku nggak indah banget kayak tokek kejepit.

Carlo malah mencengkram rahangku dengan satu tangannya, kemudian menekan kedua pipiku hingga mulutku manyun bak ikan bawal. “Salah karena terlahir dari keluarga miskin.” Carlo berbisik. “Dia telah merepotkan ibunya. Dia, tadinya mau ku uangkan untuk membantu kehidupan keluarganya. Tapi kau,” lelaki berkulit cokelat ini menghela napas, tenaga di tangannya bertambah, seluruh gigiku rasanya akan rontok. “Kau telah menggagalkan semuanya!” gigi Carlo gemeretak sedangkan rahangku benar-benar nyeri. “KAU HARUS MEMBAYARNYA!” dia berteriak di depan wajahku. Ya ampun! Bau banget siah mulutnya!

Aku tidak bisa bicara jika begini. Jika melawan, aku juga hanya akan membuang-buang tenaga. Terkait pembicaraannya, aku sama sekali tidak mengerti. Maksudnya mau diuangkan bagaimana? Dwiki mau dijual, gitu? Ah aku tidak ingin penasaran soal itu. Yang aku inginkan sekarang hanya kabur dari tempat ini.

Carlo melepaskan tangannya saat seseorang membuka pintu. Kami sama-sama menatap sosok perempuan cantik yang melangkah masuk.

“Sudah selesai diskusinya?” Ina berdiri menjulang, sembari melipat tangan di depan dada. Kakinya dibalut high heels 10 centi, sementara badannya menggunakan dress selutut berwarna merah. Uh, kakak modisku.

Puisi TerkutukWhere stories live. Discover now