#8 KEMBALI BERTATAP MUKA

577 134 125
                                    

"Apa kabar gulita? Ada salam dari benderang."

Mentari sudah siap bertugas menggantikan bulan yang bersinar semalaman. Cahayanya membangunkan tidur lelapku secara perlahan. Mataku masih enggan untuk terbuka, dan tubuhku masih malas melakukan sesuatu yang bermakna.

Udara Bandung pagi ini begitu memanjakan, membuatku selalu ingin bermalas-malasan. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan, namun aku masih tak mau beranjak untuk sarapan.

Terdengar suara notifikasi dari ponsel yang mencoba mengusikku. Sepertinya ia bekerja sama dengan cahaya mentari untuk terus membuatku segera bangun dari tempat tidur.

Ternyata temanku yang membuat ponsel berbunyi. Dia berniat mengajakku berkumpul sore ini. Tanpa berpikir panjang aku bersedia untuk menghadiri. Setelah membalas pesannya aku pun bersiap untuk tidur kembali.

***

Terbangun karena gerah, itulah yang aku rasakan. Mentari seakan amat marah, karena aku terus saja merebah. Dengan masih setengah sadar, aku berjalan menuju kamar mandi. Itu kulakukan karena aku harus bersiap untuk pergi.

Kaos hitam dan celana jeans panjang aku pilih untuk menghiasi tubuhku. Jam tangan dan sneakers melengkapi tangan dan kakiku. Rambut yang agak basah sudah kutata, kumis dan janggut pun sudah sirna, sehingga aku terlihat semakin muda.

Langit sudah berubah jingga, pertanda pergantian waktu telah tiba. Aku sudah siap bergegas pergi, hampir setengah jam aku menanti, namun teman yang kutunggu belum juga tiba di sini.

"Maaf aku telat, ayo kita berangkat." Itulah yang temanku katakan setelah dia tiba. Kami akan berkumpul dengan teman-teman lain yang mengikuti test ketika itu. Test untuk salah satu televisi swasta yang aku ikuti bulan lalu.

Dengan kendaraan roda dua kami pergi dengan segera. Aku harap kau juga hadir wahai Danila, sehingga kedatanganku tak menjadi sia-sia. Aku harap bertemu denganmu wahai Danila, sehingga hariku menjadi semakin sempurna.

Setibanya aku dan temanku, sudah ada banyak orang yang sampai terlebih dulu. Fokusku mencari apakah kau hadir wanita mungilku. Mataku terus melirik dan berharap kau menyambutku dengan baik.

Pencarianku berakhir dengan pahit, sosokmu tak nampak di sekitar. Upaya yang kulakukan tidak sedikit, namun untuk bertemu denganmu sepertinya aku harus kembali bersabar.

Aku duduk dengan gusar ketika teman yang lain sedang sibuk berkelakar. Aku terus menanti meski kedatanganmu belum juga pasti. Aku terus berselancar dalam lamunan dan berharap kau sedang dalam perjalanan.

Akhirnya hadir sebuah penantian berharga, kau pun tiba dengan senyum menggoda. Meski kau masih bersamanya, setidaknya denganmu aku bisa kembali bertatap muka.

Dengan baju putih kau terlihat sangat menawan. Rambut pendekmu masih kau pertahankan. Tubuh mungilmu selalu aku bayangkan. Dan memilikimu masih menjadi angan-angan.

"Terima kasih Tuhan, aku dan dia kembali dipertemukan."

Bahagia dan sakit melebur menjadi sebuah rasa. Satu sisi aku senang bisa bertemu denganmu, di sisi lain aku kecewa kau berhubungan dengan temanku.

Tanpa perbincangan, itulah yang kembali mewarnai sebuah pertemuan. Hanya sebuah senyum simbolis yang kau beri saat aku sambut kau dengan tatapan.

Mengapa waktu berputar sangat cepat ketika hari terasa begitu menyenangkan. Kembali berpisah denganmu adalah alasan yang saat ini aku keluhkan.

Setelah pamit, kau dan kekasihmu menghilang dalam gelap malam. Melihatnya cukup membuatku geram. Layaknya kapal karam, aku hancur dan semakin tenggelam.

"Rambutmu terurai tak panjang membuatku tak henti tuk memandang. Kedua pipimu bulat selalu menggoda tuk dilihat. Bola matamu mengkilap sangat indah tuk ditatap. Semua tentangmu sangat menarik tak kuasa ku tak melirik."

Memikirkanmu adalah satu-satunya cara yang aku bisa perbuat.

Bandung, 29 Juni 2016

Diary Tanpa Koma [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang