#19 KETIKA AKU MULAI TERBIASA

288 54 29
                                    

"Teruslah berusaha hingga semesta mendukungmu dengan cara yang tak terduga."

Tidak ada Bandung hari ini, ketika Jakarta sudah menanti. Kami tiba di ibu kota saat mentari sudah menyapa. Animo yang kami terima tidak begitu baik, hanya deretan kemacetan dan panas yang begitu terik. Mungkin setiap orang merasakan hal yang sama, namun mereka terpaksa menerima meski umpatan keluar dari mulutnya.

Aku dan teman-temanku memang sengaja melipir hanya untuk mampir ke rumah seseorang. Dia sudah mengundang, tidak etis bila kami tidak datang.

Banyak sekali kepalsuan di dunia ini, termasuk aku ikut terlibat di dalamnya. Harus terlihat bahagia ketika bertemu kekasih dari orang yang kupuja. Hal itu terus berlangsung setiap kali aku bertemu dengan temanku sendiri.

Untuk kali ini, aku mulai terbiasa dengan semua keadaan yang ada. Aku mulai bisa melihat temanku berbahagia dengan orang yang kusuka. Waktu menggiringku menuju fase menerima, meski pada dasarnya aku adalah orang yang perasa.

Lelah bergelayut pada masing-masing tubuh kami, terutama temanku yang bertugas mengendarai mobil sedari tadi. Cukup lama kami terjebak dalam lautan kendaraan yang sama sekali tidak mau bergerak.

Sabar adalah sebuah kondisi yang harus kami lalui. Mau bagaimana lagi, dengan berkata kasar tidak akan membuat jalanan menjadi lancar. Sudah rahasia umum antara Jakarta dan macet memang berkerabat dekat.

Kemudian, kami sepakat untuk sejenak beristirahat. Mencari minimarket terdekat merupakan keputusan bersama yang akhirnya didapat. Membeli minum menjadi tujuannya, seraya menunggu kemacetan sedikit terurai.

Temanku yang tak lain adalah kekasih wanita mungilku terlihat murung sejak kami berangkat. Tidak seperti biasa, dia memilih lebih banyak diam. Aku tidak tahu penyebabnya, aku tidak mau berspekulasi tanpa bukti.

"Ayo kita jalan lagi." Suara ajakan tersebut berhasil membuyarkan lamunanku. Dengan segera kami menuju mobil dan melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.

***

Akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Si pemilik rumah sudah berada di pelataran seakan siap memberi sambutan. Sungguh perjalanan yang melelahkan hanya untuk sebuah perjumpaan.

Sehabis makan dan membersihkan seluruh badan, kami larut dalam kegiatan masing-masing. Dan kulihat temanku bingung, seakan ada yang mengganjal dan ingin mengutarakan sesuatu.

Benar saja, dia mengajakku berbincang meski masih ada keraguan meliputi dirinya. Sejenak keheningan menyusup di antara kita berdua, sepertinya dia masih sibuk merangkai kata.

"Aku putus dengan Danila."

Entah harus sedih atau bergembira aku mendengarnya. Namun ada rasa ingin bersorak ketika kalimat itu keluar dari mulutnya.

Temanku terus bercerita tentang kronologinya, bagaimana hubungannya bisa berakhir. Dia bersikukuh bahwa dirinya tidak bersalah, tapi keputusan sudah dibuat dan dia hanya bisa berpasrah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menyarankan bahwa temanku harus menghargai apa yang Danila mau.

Kusadari tidak ada yang kekal di dunia ini. Semua yang berawal pasti mempunyai akhir. Begitu pula dengan sebuah hubungan, bisa berakhir ditinggalkan atau berakhir di pelaminan. Kita sendiri yang bisa putuskan.

Teruntuk wanita mungilku, kau kembali hadir di saat aku mulai terbiasa tanpamu dipikiranku. Kau mengetuk pintu hati yang sudah aku kunci. Kau kembali berkunjung dan aku mempersilakan. Ini adalah anugerah, dan semoga berakhir indah.

Jakarta, 6 Agustus 2016

Diary Tanpa Koma [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang