"Hidup adalah diorama Tuhan yang dibumbui dengan perasaan."
Mental seakan punah bila aku dihadapkan pada wanita mungil satu ini. Entah kenapa untuk sekadar berbagi sapa melalui pesan singkat pun aku tak mampu. Bagiku, dia bukan wanita yang bisa luluh hanya dengan basa-basi "selamat pagi."
Tipikal cuek memang terpancar pada dirinya, yang kulihat dia tidak bisa cepat akrab dengan orang baru. Mungkin itu yang membuatku sungkan untuk menyapanya. Butuh strategi yang amat sangat matang untuk menjadi dekat dengannya, aku tidak bisa gegabah untuk menentukan langkah.
Berbanding terbalik dengan sikapku terhadap si gadis berkulit gelap. Tidak ada sedikit pun rasa canggung untuk mengganggunya dengan kalimat-kalimat sapaan tidak penting. Memang kami menjadi dekat, tapi entah kenapa aku merasa biasa saja.
Jarak dengan wanita mungil bernama Danila masih sulit untuk aku pangkas, rasa takut memang harus segera aku berantas. Sungguh keadaan ini membuatku sangat tidak puas.
Nyaliku masih saja belum terkumpul. Adalah rasa takut yang membuatku enggan untuk menyapamu. Aku takut kau mulai sadar bila aku berusaha mendekatimu, dan lalu kau memilih pergi menjauh.
Ternyata bila sudah berhubungan dengan rasa, aku tidak bisa berbuat banyak. Meminta agar Tuhan memberi keberanian dan menunjukkan jalan keluar untuk mendekatimu adalah cara yang kutempuh sekarang ini.
Aku sedang berada dalam ruang di mana asumsi lebih besar dari percaya diri, sehingga ciut datang merasuk dalam sanubari. Layaknya pelaut yang ingin berlayar namun takut akan terjangan ombak, begitu pun aku yang ingin mengenalmu lebih jauh namun tidak berani untuk bergerak.
Beginilah aku. Padamu aku bersikap hati-hati, padamu aku tidak berani, padamu aku menerima konsekuensi, dan padamu aku akan pergi.
Engkau adalah sebuah imaji yang segera aku realisasi.
Bandung, 1 September 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Tanpa Koma [SELESAI]
RomanceCover by @eviFhe Mungkin di kemudian hari aku akan singgah di rumahmu dan berdiskusi dengan ayahmu membicarakan masa depan kita.