Reth membawaku menjauh dari Rendy. Kami berhenti di sebuah rumah yang sepertinya adalah gudang.
"Kita harus menyadarkan Sophie dan Gally, mereka harus di sini juga. Aku mau ikut pertarungan itu lagi, agar aku bisa menyuntikkan serum supaya mereka tersadar," ah, sudah kuduga ia akan berbicara tentang hal ini.
"Apa? Kamu mau ikut pertarungan itu, lagi? Tidak, aku ragu jika kamu bisa menang, biar aku yang ke sana, oke?" jawabku sembari kupegang pundaknya kanannya. Menyadarkannya bahwa semua yang ia katakan tidaklah mudah.
"Aku tidak yakin soal itu. Kamu juga terluka parah saat dibawa ke sini," ucap Reth ragu. Baiklah, aku setuju dengan ucapan Resha, tetapi aku juga ragu terhadapnya.
"Soal itu aku bis--" Sebelum aku melanjutkan ucapanku, terdengar suara orang yang sepertinya sedang kesakitan.
Kami berdua mencari asal asal suara itu, tetapi tidak ada seseorang yang berkeliaran di sini, di kebun pun sepi, semua orang menghilang. Entah ke mana perginya.
"Ke mana mereka?" tanyaku pada Reth, sekali lagi aku lebih enak memanggilnya Reth dari pada Resha dan juga agar para penjaga tidak curiga bahwa kami sudah tersadar.
"Di sana." Reth menunjuk ke arah dinding.
Apa lagi ini, satu hal lagi yang penuh akan misteri.
Aku mengikuti Reth yang berlari ke arah dinding Tallessa, melewati kebun sebelum sampai. Suara jeritan itu pun kembali terdengar jelas dari dalam dinding.
Dinding yang memiliki pintu, sebuah ruang gelap saat aku dan Reth memasuki-nya. Tidak jauh dari pintu masuk tadi ada orang-orang berkerumun sembari membawa obor, jeritan tadi pun semakin menjadi-jadi.
"Apa yang mereka tonton?" Aku bertanya ke Reth, tetapi, lagi-lagi dia hanya diam dan malah lari keluar.
Aku semakin penasaran setelah ada suara wanita menangis dan terdengar memohon maaf. kuterobos kerumunan itu. Itu ..., seorang wanita dengan tali yang mengikat kedua lengannya ke belakang dan wajahnya tertutupi olen kain hitam, di depannya ada lelaki dengan penutup kepala juga, di tangannya memegang sebilah pedang, katana.
Yang membuatku semakin heran, di sebelah wanita itu, seorang laki-laki tergeletak dengan kepala yang terpisah dari tubuhnya. Ah, mereka memang tidak beres dari awal, kejam sekali.
"Apa yang kalian lakukan, hah!?" Seruku bertanya.
"Dia pencuri, mengambil daging di Wilayah Penjaga, hukumannya mati!" seru seseorang di belakangku, yang ternyata adalah Rendy.
"Gila! Hei! Apa kau gila!" aku berteriak ke arah muka algojo itu dan tak lupa ku tambahkan kuah. Makan tuh kuah!!
Sialan, mereka seperti tidak punya rasa dalam dirinya.
Nyawaku selamat, karena sebelum algojo itu marah seakan juga mau membunuhku, Rendy menarikku agar menjauh dan tak ikut campur.
"Ren! Kau mau membiarkan orang yang hanya ingin makan daging dan harus mati!?" kini aku berteriak ke arah muka Rendy.
Rendy diam, kemudian dari arah depannya aku melihat seseorang perempuan yang menangis tadi. Siapa dia, aku sepertinya kenal, tapi?
"Ibu?"
Wanita itu melihatku dan benar, itu Ibuku, aku mendekatinya yang tengah menangis, terduduk di tanah.
"Bu? aku kira." aku memotong ucapanku sendiri, "Ada apa Bu?"
Ibuku terus menangis, bahkan semakin menjadi-jadi, "Bu? Ini Ibu? Kenapa?"
"Siapa kamu!?"
Aku mengerti, Ibu masih hilang ingatan akibat asap yang juga pernah ia berikan padaku dan takkan ingat. tapi kenapa ingat dengan Winny, adikku?
Ibu menunjuk ke arah anak perempuan yang kini sudah tak bernyawa, dia sudah di eksekusi.
"Minggir kau bajingan!" Umpatku sembari kudorong tubuh algojo.
Dia Winny? yang dibunuh itu adalah .... adikku? Perasaan tak percaya menyeruak di dalam otakku, kepala yang terpenggal ini? Winny?
Emosiku memuncak mengalahkan air mata yang akan keluar, entah aku akan mati atau apapun itu, aku berdiri dan kuberikan tinju mentah tepat pada muka algojo itu.
"Apa yang kalian berdua lakukan? Tangkap dia!" Seru Algojo menyuruh dua orang temannya yang berdiri di belakangnya.
Namun, mereka hanya saling diam, saling tatap, "Kalau begitu, biar aku yang menghabisinya!"
Kini algojo itu bersiap membunuhku dengan pedang di tangannya. Aku hanya pasrah dengan memejamkan mataku, siap jika harus mati.
Namun, orang-orang yang yang berkumpul menyaksikan berteriak histeris, kubuka mataku, yang saat itu juga memandang algojo mengerang kesakitan atas lengannya yang terpotong oleh salah satu temannya.
Apa ini, kenapa malah mereka saling bunuh? Apa yang terjadi?
Semua orang yang ada di sini mau berlarian keluar, tetapi seseorang menutup pintu keluar dan aku masih bertanya-tanya. "Siapa kalian?"
Mereka berdua sibuk mengikat lengan algojo yang terpotong tadi, "Kita harus menyembunyikan-nya."
"Siapa kalian berdua?" tanyaku lagi. Kenapa mereka membelaku?
"Dasar bodoh! Kau tahu? tadi kau hampir terbunuh!" Seru salah satu teman algojo dengan suara perempuan, yang tidak asing di telingaku.
Baru kuketahui saat mereka berdua membuka penutup kepalanya, Sophie dan Gally. Aku bisa tahu kalau Sophie yang memotong lengan Algojo dari pedang berlumur darah yang di pegangnya.
"Ya ..., terima kasih, tapi--"
"Kami hanya mendampingi, tidak membunuh dan untuk kalian semua .... Aku harap untuk tutup mulut kalian!? Mengerti!?" ucap Sophie memperingatkan sembari membersihkan pedangnya.
"Kami akan tutup mulut, tenang saja, cantik," ucap Rendy dari balik kerumunan, "Ya kan, Letter?" lanjutnya, melirikku.
"Cih ...." Sophie membuang ludah.
Apa-apaan si Rendy ini? Dia sempat merayu saat terjadi sebuah pembunuhan? Atau mungkin sudah terbiasa melihatnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK (Wattys Winner 2018)
Science Fiction#Pemenang Wattys2018 kategori The Originals **** Kata mereka, para pemimpin tempat ini. Kami telah diselamatkan dari dunia luar, dari virus yang menyerang. Dan katanya kami itu kebal. Namun, kebal dari apa? Mereka tak menjelaskan, tetapi satu hal...